Tristan & Carissa: Sebuah Kisah Cinta

Sebuah Kisah Cinta | Ryan Mintaraga
Sebuah Kisah Cinta | Ryan Mintaraga
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Lama baca: 3 menit

Ruangan itu bernuansa putih dihiasi aneka bunga; anemone, lili, daisy, dan mawar. Hari ini tanggal 23 November 2019. Sayup dari sudut ruangan terdengar denting piano mengalunkan komposisi indah ‘Canon in D’ diiringi gesekan biola.

Tristan tersenyum bangga melihat adiknya – Aisha – memainkan piano dengan sepenuh jiwa. Jiwa Aisha seolah menyatu dengan piano yang dimainkannya.

Saat ini Tristan berdiri di tengah aula menunggu seseorang yang istimewa, seseorang yang akan melengkapi hidupnya selamanya. Seikat bunga berada dalam genggamannya.

Sebentar-sebentar Tristan memeriksa penampilannya di hari yang sempurna ini.

Apa penampilanku sudah oke?

Aisha yang memainkan piano mau tidak mau tersenyum melihat tingkah kakaknya. Ia pun memberi isyarat pada Tristan.

Kamu sudah oke, Kak.  Kamu sempurna.

Momen yang ditunggu semua orang akhirnya tiba. Pintu besar di ujung aula terbuka.

Mata Tristan tak berkedip, debaran di dadanya semakin kencang.

Beberapa puluh meter di hadapannya, di mulut pintu, ia melihat seseorang yang sempurna di hari yang sempurna ini.

Carissa.

Mengenakan gaun pengantin yang senuansa dengan ruangan tersebut, Carissa sang calon pengantin wanita berjalan perlahan mendekati Tristan. Ujung dari gaun panjangnya menyibak hamparan bunga yang ia lalui. Semua yang hadir berdiri dari kursi masing-masing, menyambut kedatangan calon pengantin wanita.

Musik semakin jelas terdengar. Kedua insan yang berbahagia itu bertemu di tengah aula.

Tristan dan Carissa.

“Aku mencintaimu, Carissa,” bisik Tristan sang pengantin pria, lembut.  “Jadilah istriku.  Jadilah ibu dari anak-anak kita.  Jadilah bagian hidupku selamanya.”

“Aku mencintaimu, Tristan,” balas Carissa.  “Jadilah suamiku.  Jadilah ayah dari anak-anak kita.  Jadilah bagian hidupku selamanya.”

“Hingga maut memisahkan…,” Tristan mendekatkan bibirnya ke wajah Carissa.

Baca juga:  Impian yang Terempas: Andi

***

“Hingga maut memisahkan…”

Carissa berbisik pelan di telinga Tristan seraya tangannya menyematkan sebentuk cincin di jari manis kanan pria tersebut.

Tristan tak bereaksi.

Bulir air bening dari kedua mata Carissa jatuh mengenai pipi Tristan. Semua yang hadir menahan kesedihan, beberapa bahkan mulai terisak tak sanggup lagi membendungnya.

“Sayangku, mulai detik ini kita sah menjadi suami-istri,” Carissa yang saat itu mengenakan gaun pengantin berwarna putih sekali lagi berbisik pelan di telinga Tristan, berharap adanya keajaiban walau hanya sekejap.

Ruangan itu serba putih.

Tak ada bunga, tak ada piano, hanya nampak seseorang yang memainkan biolanya dengan lirih melantunkan komposisi indah dari Johan Pachelbel – yang saat ini terdengar sangat memilukan.

Suara biola yang lirih menjadi semakin lirih kemudian menghilang digantikan bunyi peralatan medis penunjang hidup Tristan yang semakin lama semakin lemah.

Hari ini tanggal 23 November 2019.

Sudah genap tiga belas hari Tristan terbaring koma di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas yang dialaminya saat pria tersebut bermaksud mengantar undangan pernikahan.

“Keadaannya tak kunjung membaik, daya hidupnya semakin lemah,” terang dokter yang merawatnya tiga hari lalu.  “Saya mohon maaf, namun demi kebaikan yang bersangkutan, kami sangat berharap Anda mengikhlaskannya.”

Carissa tak lepas menatap Tristan yang masih terbaring koma.

“Cintaku.  Suamiku.  Tristanku,” bisiknya.  Digenggamnya erat tangan kanan Tristan.

Seperti Carissa, Aisha menggenggam erat tangan kiri Tristan dengan mata yang juga basah oleh air mata.

“Kak Tristan,” Aisha menyebut nama kakaknya.  Sama seperti Carissa, ia pun berharap adanya keajaiban meski hanya sekejap.  “Selamat, ya.  Aku berbahagia untuk kalian berdua.”

Monitor ECG menunjukkan detak jantung Tristan yang semakin lemah dan jarang. Bunyi yang ditimbulkannya semakin memupus harapan siapapun yang mendengarnya.

Baca juga:  Matcha Latte dan Hujan Akhir Tahun

Beberapa perawat dan dokter masuk ke ruangan tersebut.

“Nona–” ucap salah seorang dari mereka, seorang dokter.

“Nyonya,” tegur Carissa.

“Maaf,” dokter tersebut meralat ucapannya.  “Nyonya, kami benar-benar mohon maaf.  Tapi sekarang sudah waktunya, demi kebaikan yang bersangkutan.”

Carissa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari Tristan, pria yang menjadi cintanya.

“Lakukan saja, Dok.  Saya ikhlas jika ini memang jalan yang terbaik untuknya.  Permintaan saya hanya satu, izinkan saya tetap berada di sini mengantarnya, menemaninya hingga akhir.”

Hari ini tanggal 23 November 2019, di ruangan serba putih.

Cinta.

-Jakarta, 28 November 2019-

Catatan Penulis :

  1. ECG (Electro Cardio Graph), di Indonesia biasanya dinamakan EKG.
  2. Tulisan ini di-publish pertama kali di Kompasiana, 2014
  3. Tulisan ini akan lebih terasa sambil mendengarkan komposisi klasik di bawah :

Sumber Gambar: Blog MysteryWallpaper

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan komentar