Lama baca: 5 menit
Framing menjadi isu hangat belakangan ini terkait kondisi sosial politik jelang Pemilu, umumnya dituding dilakukan oleh media-media massa tertentu.
Tapi, apa itu framing?
Secara harfiah, framing berarti pembingkaian, merupakan sebuah upaya menyusun atau mengemas informasi dengan tujuan membentuk opini atau menggiring persepsi publik.
Satu hal yang perlu dicatat adalah:
“Framing merupakan bagian dari strategi komunikasi media dan/atau komunikasi jurnalistik.”
Jadi pada akhirnya framing tidak berdiri sendiri, ia berasal dari visi/agenda yang menjadi tujuan media tersebut. Ia merupakan bagian dari strategi.
Apa yang menjadi agenda media tersebut, itulah yang coba dicapai melalui upaya framing.
Bagaimana Framing Bekerja?
Seorang klien saya kebetulan pernah bekerja di rumah produksi infotainment ternama. Darinya saya mendapat informasi berharga soal bagaimana cara media bekerja.
“Gua mulai dari pertanyaan ini,” ujarnya sembari menunjuk rekannya yang sedang tidur. “Lu terganggu nggak dengan ngoroknya dia?”
“Nggak,” jawab saya.
“Oke, sekarang pertanyaannya gua ganti,” sambungnya. “Sekarang bayangkan rumah lu cuma sepetak ini yang lu tempatin bersama keluarga lu.”
“Oke.”
“Nah, dia ini ngoroknya kenceng sampe anak lu bangun dan nangis,” katanya. “Lu terganggu nggak?”
“Yaa kalo itu sih aku terganggu.”
Si klien menjentikkan jarinya.
“Gua udah dapet jawaban yang gua mau.”
Percakapan itu membuka kesadaran saya bahwa:
“Terkadang media tidak mencari jawaban, mereka hanya membutuhkan jawaban yang mereka ingin dengar, jawaban yang langsung keluar dari mulut narasumbernya.”
Percakapan itu pernah saya unggah sebagai status fb dan mendapat tanggapan yang membenarkan kondisi tersebut.
Kembali ke framing.
Yang harus diingat adalah framing bukanlah upaya pembohongan, framing ‘hanya’ upaya membelokkan arah berita melalui tindakan-tindakan berikut:
- Penyeleksian informasi
- Penonjolan aspek tertentu
- Pemilihan kata, bunyi, atau gambar
- Penghilangan informasi yang seharusnya disampaikan.
Tujuan framing adalah melahirkan citra/kesan/makna tertentu yang diinginkan media atau wacana yang akan ditangkap publik. Sekali lagi, tujuan tersebut sudah ditetapkan sebelumnya.
Contoh:
Jika media tempat saya bekerja – katakanlah – ingin membuat citra negatif tentang sebuah merek ponsel, maka saya akan menulis:
Lagi, Ponsel xxxx Meledak Saat di-charge
Lagi-lagi ponsel xxxx meledak saat diisi ulang. Peristiwa tersebut terjadi kemarin (11/1) di sebuah perumahan padat penduduk di kawasan yyyy.
Ryan, si pemilik mengatakan bahwa ia sedang di kamar mandi saat mendengar ledakan tersebut.
“Suaranya keras sekali. Saya sampai berpikir ada bom,” ujarnya saat diwawancarai. Ryan juga menyebutkan bahwa ini adalah ponsel xxxx keduanya.
Beruntung ledakan tersebut tidak menimbulkan akibat yang lebih besar lagi.
Informasi yang disampaikan berita di atas benar, bahwa ada ponsel merek xxxx yang meledak saat diisi ulang. Namun karena tujuan saya adalah membuat citra negatif, maka fakta bahwa ponsel itu di-charge menggunakan charger non-ori, tidak akan saya tulis.
Sebaliknya, jika saya ingin memoles citra ponsel xxxx tersebut maka saya akan menulis berita seperti ini:
Untuk Kesekian Kalinya, xxxx Terima Penghargaan
xxxx kembali menerima penghargaan sebagai “The Safest Mobile Phone of The Year 2019”. Penghargaan tersebut diserahkan pada Jumat (11/1) kemarin di Hotel yyyy.
“Penghargaan ini membuktikan komitmen dan capaian kami sebagai produsen telepon seluler yang aman bagi penggunanya,” tegas Ryan sebagai Direktur Marketing xxxx Indonesia.
dst.
Sekali lagi, informasi itu benar, hanya saja saya tidak menyebutkan bahwa penghargaan itu sebenarnya penghargaan yang kedua kalinya diterima xxxx, saya lebih memilih kata “untuk kesekian kalinya” untuk menimbulkan kesan ponsel xxxx sudah berkali-kali menerima penghargaan.
Atau supaya lebih jelas, dalam kasus meledaknya ponsel xxxx, saya akan menulis seperti ini:
Gara-gara Charger KW, Ponsel xxxx Meledak
Selalu gunakan aksesoris original. Ponsel xxxx meledak saat diisi ulang gara-gara menggunakan charger non-ori. Peristiwa tersebut terjadi kemarin (11/1) di sebuah perumahan padat penduduk di kawasan yyyy.
Ryan, si pemilik mengatakan bahwa ia sedang di kamar mandi saat mendengar ledakan tersebut.
“Suaranya keras sekali. Saya sampai berpikir ada bom,” ujarnya saat diwawancarai. Ryan juga mengakui bahwa ponselnya tidak menggunakan charger original saat peristiwa itu terjadi.
Beruntung ledakan itu tidak menimbulkan akibat yang lebih besar lagi.
Sudah mulai jelas?
Pemilihan kata juga merupakan bagian framing seperti contoh berikut:
- pemarah x tegas, misalnya: “Ia seorang pemarah” vs “Ia seorang yang tegas”
- cermat x lambat, misalnya: “Ia seorang yang cermat” vs “Ia seorang yang lambat”
Untuk memperkuat framing, disertakan pula foto yang senapas dengan judul ataupun isi berita. Foto seorang pelaku kejahatan misalnya selalu dipilih yang ekspresinya beringas dan menakutkan, sebaliknya foto seorang yang tak berdaya selalu dipilih yang memelas.
Contoh lain, baru-baru ini saya menemukan artikel yang menginformasikan kondisi seseorang yang terancam lumpuh akibat lukanya dijilat anjing.
Artikel itu kemudian membahas adanya bakteri di liur anjing tersebut. Pembahasan lalu melompat pada informasi bahwa bakteri yang sama ditemukan pula pada kucing.
Fotonya? Gambar kucing yang sedang menjilat kakinya!
Pelakunya anjing tapi fotonya kucing.
Penggiringan opini?
Lagi, foto berikut adalah contoh populer tentang framing:

Foto yang di tengah adalah fakta, sementara foto yang di kanan & kiri (foto yang sudah di-crop) sudah di-framing. Tinggal arah dan kebijakan medianya saja, pesan apa yang ingin disampaikan? Apakah kekejaman perang seperti foto di kiri atau kebaikan terhadap lawan seperti di foto kanan?
Bisa Dirasakan, Sulit Dibuktikan
Sekali lagi, framing berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai media tersebut.
Di sebuah situs disebutkan bahwa framing berkaitan erat dengan kebijakan redaksi (editorial policy), yakni ketentuan peristiwa apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan.
Editorial Policy terkait erat dengan kepentingan ekonomi, politik, dan ideologi pemilik media. Pemilik media adalah pihak yang menentukan ke mana arah media yang dimilikinya.
“It’s not what you say, it’s how you say it”
-The Guardian-
Framing hanya bisa dirasakan namun sulit dibuktikan. Kita hanya bisa menduga apa yang menjadi tujuan media tersebut saat mengeluarkan klarifikasi.
Jika kita sudah memahami adanya framing media, lantas bagaimana menyikapi informasi yang disajikannya?
Jawabannya, perbanyaklah sumber media, utamanya media yang menyajikan fakta yang benar. Atau jika perlu, ambil sumber dari media yang saling bertentangan.
Masalahnya, bagaimana jika semua media terjebak framing?
Masih layakkah media dipercaya?
Rerefensi & Tautan Luar:
- Pengertian Framing: Cara Media Memanipulasi Informasi, komunikasipraktis https://www.komunikasipraktis.com/2016/12/pengertian-framing-cara-media.html