Perang Medsos, Kenapa Banyak Orang Merasa Dirinya Paling Benar?

Perang Medsos, Kenapa Banyak Orang Merasa Dirinya Paling Benar? | Ryan Mintaraga (wheelsnroads)
Perang Medsos, Kenapa Banyak Orang Merasa Dirinya Paling Benar? | Ryan Mintaraga (wheelsnroads)
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Daftar Isi

Lama baca: 5 menit

Beberapa bulan ini saya merasa ada yang aneh dengan linimasa facebook saya.

Kenapa status yang tampil berasal dari orang yang itu-itu saja?  Apa teman yang lain nggak update status?

Keheranan saya semakin bertambah karena begitu mengecek profil beberapa teman saya, tercatat bahwa mereka masih rajin update status.

Saya memang tidak sering mengakses facebook, rerata 4-5 kali dalam sehari, akan tetapi kehilangan update-an beberapa teman rasanya cukup aneh.  Bahkan meski saya sudah mengubah pengaturan newsfeed menjadi ’Most Recent’ dari sebelumnya ‘Top Stories’ yang merupakan default setting facebook, tetap saja tidak ada perubahan berarti.

Akhirnya keheranan saya terjawab.

ALGORITMA FACEBOOK

Dari berbagai sumber, saya mendapat kabar bahwa facebook sudah lama mengubah algoritmanya menyusul langkah Google dan sebagian besar situs populer lainnya.

Dengan algoritma baru tersebut, konten media – dalam hal ini facebook – yang tadinya ditampilkan berdasarkan waktu, sekarang diubah menjadi algoritma berdasarkan riwayat aktivitas dan minat pengguna.

Penerapan algoritma itu juga menjadi jawaban kenapa setelah saya membuka situs marketplace seperti BukaLapak untuk mencari informasi harga pasar sebuah produk, facebook kemudian menampilkan iklan produk tersebut di bilah sisinya.

Lalu seberapa besar peran algoritma facebook dalam aktivitas bermedsos?

Kutipan berikut diambil dari laman kompas.com:

Ada seseorang yang membagikan cerita mengenai tokoh politik tertentu.  Cerita tersebut sangat cocok dengan pendapat Anda mengenai berbagai hal, namun sayangnya, tidak berdasar fakta.  Lalu Anda melihat dan membacanya di linimasa media sosial, bahkan mungkin dari mesin pencari Google.

Algoritma menganggap Anda  menyukai cerita tersebut.  Lalu, efeknya algoritma akan membuat linimasa media sosial Anda menampilkan berbagai topik sesuai cerita kesukaan itu, walau cerita atau berita itu tidak sesuai dengan faktanya.

Artinya, linimasa akan otomatis menghalau cerita dengan topik berlawanan, yang sebenarnya berdasar fakta, sehingga Anda tak akan melihat bantahan atau sanggahan dari cerita yang Anda sukai mengenai sang tokoh politik itu.

Ya, facebook – dan Google – akan menganalisis profil kita berdasar informasi yang berhasil mereka kumpulkan dari rekam jejak kita selama di dunia maya; situs mana saja yang kita kunjungi, di mana lokasi kita, status mana saja yang kita like dan/atau komentari, apa yang menjadi minat kita, dsb.

Baca juga:  Memperbaiki Tampilan Blog Setelah Ganti Template

Dari sisi facebook, penerapan algoritma baru tersebut lebih berkaitan dengan relevansi iklan.  Dengan analisis profil yang sudah dibuatnya, facebook – dan lagi-lagi Google – akan menampilkan iklan yang berbeda bagi setiap pengguna.  Iklan tersebut ditampilkan berdasar analisis profil, misalnya:

Karena saya berjenis kelamin laki-laki dengan orientasi straight, facebook mungkin tidak akan menampilkan iklan produk kecantikan.  Sebaliknya, berdasar usia dan data pribadi, iklan yang tampil di facebook saya mungkin berkaitan dengan asuransi.

Itu salah satu contoh.

Dengan target pasar (audiens) yang terukur seperti itu, para pemasang iklan (advertiser) berharap peluang konversi yang lebih tinggi.  Jika saya tidak salah, konversi adalah tindakan positif yang diambil setelah seseorang mengeklik iklan online.  Tindakan itu bisa berupa transaksi ataupun ketertarikan terhadap produk yang ditawarkan sehingga orang itu membutuhkan informasi lebih lanjut.  Mohon koreksinya dari yang lebih mengerti.

Jelas, algoritma baru tersebut menawarkan win-win solution bagi pemasang iklan.

Lantas bagaimana dengan pengguna?

THE FILTER BUBBLE EFECT

Dalam bukunya “The Filter Bubble: How the New Personalized Web is Changing What We Read and How We Think”, seorang aktivis internet Eli Pariser mengemukakan adanya fenomena yang disebut sebagai Filter Bubble Effect yaitu fenomena di mana algoritma menciptakan sebuah pembatas yang memisahkan kita dengan pandangan lain yang tak sejalan dengan perspektif kita.

Dengan algoritma tersebut, facebook akan secara otomatis menyaring informasi yang akan diberikan pada penggunanya.  Informasi yang dianggap tidak penting atau tidak sejalan dengan minat dan sudut pandang kita akan cenderung tidak tampil di linimasa facebook kita.  Istilah gampangnya, diblokir.

“Jadi status update dari teman-teman, grup atau fanspage yang sekiranya tidak penting pasti akan di hide oleh facebook.” https://tomipoerba.wordpress.com/2013/06/19/algoritma-facebook-edgerank/

Baca juga:  Memilih WiFi Terbaik untuk di Rumah. Mana yang Bagus?

“Facebook mengontrol apa dan di mana posting anda muncul di News Feed fans dengan algoritma rumit yang mereka sebut dengan Edgerank” [broken link]

“Google, Facebook dan berbagai situs lain akan cenderung memberikan informasi yang familiar, menyenangkan dan mengkonfirmasi kepercayaan utama kita.  Sehingga kepercayaan awal kita semakin dibuai dan dimanja dengan berbagai hal hingga semakin kuat pula pada akhirnya. Akibatnya yang pro semakin pro dan yang kontra menjadi semakin kontra.” http://teknologipikiran.com/filter-bubble-effect-bahaya-algoritma-facebook-yang-membuat-anda-semakin-fanatik-dan-rasis/#sthash.szZJ4kQz.dpbs

Kutipan berikut diambil dari laman teknologipikiran.com:

Filter buble effect juga bisa bekerja dengan cara lain, misal saat ini sedang hangat isu Ahok maka di newsfeed Anda muncul beberapa berita tentang Ahok baik pro dan kontra, kemudian Anda menjadi tergoda untuk mengklik, mereview, memberikan komentar, dan mencari di Google tentang Ahok.

Histori itu akan membuat algoritma facebook beranggapan bahwa berita Ahok itu penting dan sesuai dengan minat anda akibatnya berita-berita lain di luar itu akan sengaja dihilangkan oleh facebook dan Google!

Dan karena hanya mengklik yang itu-itu saja Google dan facebook pun menganggap bahwa kasus ini sesuai dengan minat dan sangat penting buat Anda, sehingga terus ditampilkan di newsfeed Anda, ujung-ujungnya itu pun menjadi viral.  Kemudian orang lain pun melakukan proses yang sama, timbul efek bola salju yang membuat negeri kita semakin panas.

Seolah-olah tidak ada berita lain padahal kalau Anda cek di koran masih banyak berita lain di Indonesia yang menggembirakan misalnya Mobil Listrik Karya Anak Bangsa Yang berhasil Cicipi Lintasan Sirkuit Ferrari.

Tapi kenapa di halaman facebook anda tidak terlihat berita itu?  Malah lebih banyak kasus Ahok?  Yaaa kita semua terkena filter bubble effect.

Dalam jangka panjang, hal seperti ini tentu mengerikan.  Kita hidup di era dimana informasi begitu mudah didapatkan, ironisnya kita justru terkungkung bagai katak dalam tempurung karena informasi yang kita dapatkan malah memperkuat apa yang sudah kita percayai sebelumnya ketimbang memperkaya sudut pandang kita dalam memandang sesuatu.

Baca juga:  Hindari Hoax, Ini Situs Penyedia Informasi Corona Covid-19

Internet malah menjadi penyedia informasi yang kita suka, bukannya penyedia informasi yang kita perlukan.

We only see what we want to see; we only hear what we want to hear.

Karena terus-menerus terpapar informasi yang memperkuat apa yang sudah dipercayai sebelumnya, seseorang akan merasa memiliki pemahaman yang paling benar sendiri sekaligus antikritik.

Saya sudah melihat sendiri di facebook saya, teman-teman yang ironisnya usianya justru lebih tua dari saya kini menjelma menjadi ‘orang-orang pintar’ yang gemar mengolok-olok orang lain yang tidak sepemahaman dengannya.

Semakin mengenal internet, pikiran mereka justru menjadi lebih tertutup.

Hanya aku dan kelompokku yang benar!

Jadi, seperti yang saya katakan dalam status facebook saya, apabila ada seseorang yang hobi menyebar hoax, itu mungkin dikarenakan konten yang tampil di linimasanya hoax semua, apalagi kemampuan kita untuk menyaring sebuah informasi – apakah termasuk hoax atau bukan – tetap ada batasnya.

Semakin mengkhawatirkan tentunya apabila konten hoax tersebut diviralkan.

Halaman berikutnya: Bagaimana Agar Kita Lepas dari Hoax & Filter Bubble Effect?

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan komentar