Monoton: 30 Oktober

Monoton | Ryan Mintaraga
Monoton | Ryan Mintaraga
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Lama baca: 4 menit

Hari ini hari Rabu, jam 05.30.

Dari kamar mandi terdengar suara gayung yang beradu dengan air di dalam bak.  Lima menit lagi istriku pasti selesai mandi.

Aku menuju meja makan untuk menikmati sarapan pagi yang sudah istriku sediakan.

Sepuluh detik kemudian pintu kamar mandi terbuka, istriku keluar dari kamar mandi, dan mengucap salam padaku sambil lalu.

Lima menit kemudian aku sudah berada di dalam kamar mandi melakukan rutinitas yang sama dari hari ke hari mulai dari berkaca hingga menyelesaikan mandi dengan handuk melilit tubuh bagian bawah.

Setiap pagi diawali dengan rutinitas seperti ini sehingga kami sudah hafal ritmenya.  Tanpa ada pertanyaan atau jawaban, kami sudah tahu di mana sisir atau parfum diletakkan, baju mana yang istriku siapkan, juga jam berapa kami harus berangkat bekerja.

Di mata orang, kami mungkin akan terlihat seperti pasangan kompak yang sedang melakukan koreografi di pagi yang sibuk.  Bergerak dari satu ruangan ke ruangan lain tanpa ada insiden – sekecil apapun.

Namun diam-diam aku mengeluh.

Setiap hari kami bergerak bagai robot.

Hidup macam apa ini?

***

Jam 07.10, aku sudah di dalam kereta komuter yang penuh sesak. Saking sesaknya bahkan sekedar menggerakkan satu kaki saja sudah tak mungkin.

Ada joke tentang ini:

“Sekali ngangkat kaki, lu bakal jadi pendekar bangau sakti sampai turun,” yang disambut gelak tawa. Artinya, sekali kita mengangkat satu kaki dalam kondisi sesak begini, kaki itu tak akan kembali ke tempatnya semula karena tempatnya sudah ditempati kaki orang lain.

Pendingin udara di dalam kereta tak lagi terasa akibat sesaknya penumpang apalagi ditambah pancaran cahaya matahari dari luar.

Baca juga:  Monoton: 24 Februari (1)

Jam 08.20, aku turun dari ojek online dan bergegas menuju mesin presensi.

Kantorku terletak di lantai 30 gedung berlantai 49.  Sejak kantorku berganti pemilik, karyawan diwajibkan datang sebelum jam kerja dimulai yaitu jam 08.30 tepat.Terlambat masuk kantor berarti pemotongan gaji sebesar 25%.

Terlambat masuk kantor berarti pemotongan gaji sebesar 25%.

Sadis!

Hanya beberapa saat sebelum pintu lift tertutup, aku melihat Bella si cantik sekretaris direksi berlari ke arahku.

“Tunggu!” teriaknya.

Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol – menahan agar pintu tidak tertutup.

Bella pun menghambur masuk lift.

Napasnya terengah.

Dari tubuhnya tercium aroma yang sangat seksi, perpaduan keringat dengan parfum yang ia gunakan.

Untuk sekejap, pikiran kotorku menyajikan fantasi liar yang nikmat, apalagi–

Ting!

Pintu lift terbuka.

Hah?

Sudah sampai?

Aku bahkan belum ngobrol sama dia!

Shit!

Yang lebih mencemaskan adalah, keputusanku menahan lift tadi membawa konsekuensi.

Antrian panjang di mesin pemindai.

Aku gelisah.

***

Aku beruntung.

Tepat saat meletakkan ibu jari di mesin pemindai, jarum jam di tanganku menunjukkan angka 08.28.

Nyaris!

***

Jam 11.31, aku berdiri, melakukan stretching, lalu bersama rekan-rekan kerjaku turun ke food court untuk menjalankan rutinitas berikutnya.

Makan siang.

Terkadang aku sebenarnya tidak benar-benar lapar, hanya saja hidup kami para salaryman sudah terprogram detail. Sedikit kekacauan dalam program kami, dampaknya bisa jadi panjang – seperti tadi pagi.

Seperti hari-hari sebelumnya pula, sebagian salaryman yang berkantor di gedung ini akan mencari tempat terbuka untuk menutup ritual makan siang dengan sebatang-dua batang rokok.  Ritual tersebut sering diseling gelak tawa dari obrolan-obrolan kosong tanpa makna.

“Gua bisa pindah ke kantor lu, nggak?”

“Eh, lu tau dia kan? Ternyata dia itu—”

“Bos gua mah cincaylah!”

Seringnya tak ada yang serius dari obrolan itu, obrolan yang berlalu begitu saja seiring embusan asap rokok.

Baca juga:  Monoton: 27 Desember

Jam 12.55, tempat tersebut kembali kosong.

Hanya ada aku dan…

Siapa sih dia?

Aku benar-benar penasaran siapa perempuan muda berambut sebahu yang jam segini masih ada di sini.

Pakaian yang dia kenakan benar-benar bukan pakaian kerja yang lazim – setidaknya itu yang beberapa kali aku lihat. Saat ini ia mengenakan skinny jeans dipadu kemeja kasual.

Dia bekerja?

Di mana?

Lagi-lagi kami bertemu pandang.

Dia melempar senyum, mungkin karena menyadari bahwa selama beberapa hari ini hanya kami berdua yang masih berada di tempat ini

***

Jam 15.27 istriku mengirim pesan WhatsApp,

“Sayang, hari ini aku pulang cepat, jadi bisa masak untuk makan malam.  Kamu nggak usah bawa makanan, ya.  Love you.”

Aku tersenyum.

Tepat di saat itu aku melihat Bella keluar dari ruang direksi dengan kedua tangan menutupi mulutnya.

***

Jam 21.12, aku melepas sepatu setelah bersesak-sesak dalam kereta komuter.  Istriku membukakan pintu depan untukku.

“Hai, Sayang.  Sampai rumah jam berapa tadi?” tanyaku.

“Sekitar jam tujuh,” jawabnya.  “Sempat istirahat sebentar, lanjut masak.  Pas banget, nasi baru matang.”

“Emang kamu masak apa sih?” tanyaku penasaran.

Bibir istriku mengembangkan senyum nakal.

“Haha adalah.  Masuk, yuk!”

Kami berdua masuk ke dalam rumah.

***

Sembari makan, seperti biasa kami bertukar cerita tentang apa yang terjadi hari ini meskipun rasanya tak ada yang istimewa.

Jam 22.20, aku mandi.

Usai menyegarkan badan, aku melihat istriku masih terjaga.

“Tumben belum tidur?” tanyaku.

“Belum lah, sayangku.  Kan aku sempat istirahat tadi.”

“Kalau gitu…,” aku menatapnya dengan pandangan menggoda.  “Bisa dong?”

Istriku tertawa kecil.

Dan entah mengapa – hanya sekelebat – fantasi tentang Bella menyeruak.

Baca juga:  Monoton: 13 November

-BERSAMBUNG-

Monoton: 24 Oktober | Monoton: 28 Oktober | Monoton: 1 November

Catatan:

SUMBER GAMBAR: SACBEE

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan komentar