Monoton: 25 November

Monoton | Ryan Mintaraga
Monoton | Ryan Mintaraga
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Lama baca: 7 menit

Senin, pukul 19.45.

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa sudah berakhir lebih dari empat jam lalu. Sejauh yang kutahu semua berjalan baik dan lancar serta tidak ada kesalahan sekecil apapun.

Malam ini kami, tim yang terlibat penyelenggaraan RUPS sedang mengadakan pesta kecil-kecilan. Selain ungkapan kelegaan setelah beberapa hari yang penuh tekanan, pesta ini sekaligus merupakan ungkapan kegembiraan karena – seperti yang sudah-sudah – suksesnya acara tadi siang akan memuluskan karir orang-orang yang terlibat di dalamnya.

“Untuk ketua tim kita!  Cheers!”

Gelas-gelas pun berdenting disahut sorak-sorai.

“Untuk karir kita di masa depan!  Cheers!”

Gelas kembali berdenting, isinya berpindah ke dalam lambung sementara gelas yang kosong segera diisi kembali oleh para escort. Botol kosong disingkirkan diganti yang baru. Seluruh anggota tim baik laki-laki maupun perempuan larut dalam kegembiraan pesta kali ini.

Termasuk Bella. Kebetulan ia duduk persis di sampingku.

“Kamu nggak minum?” bisikku di telinganya.  Sejak tadi aku perhatikan ia tak banyak minum.

Wanginya…

Wangi yang seksi dan menggoda, padahal sudah jam segini.

“Aku harus nyetir,” Bella menjawab singkat.

“Ayolah.  Minuman ini nggak bikin mabuk, kok,” kataku seraya menyodorkan segelas minuman padanya.

Bella terlihat ragu menerima minuman yang kusodorkan.

“Sedikit lagi saja,” kataku.  “Dari tadi kamu minum sedikit, padahal teman-teman pada minum banyak.”

“Baiklah,” ujarnya beberapa detik kemudian.  “Sedikit saja sebagai penghormatan padamu.”

Bella sejenak menggoyangkan gelas minuman bervolume 250 mililiter itu kemudian meminum setengah isinya tanpa sekejap pun pandangannya lepas dariku.

“I’m done,” desahnya sambil menyodorkan gelas itu kembali padaku.  “That’s enough.”

Aku menerima gelas yang ia sodorkan lalu menghabiskan isinya, tanpa sisa.

Bella tertawa kecil. Saat itulah pandangan kami bertemu.

Berikutnya kami hanya saling tatap tanpa sepatah kata pun yang terucap.

Entah apakah pengaruh alkohol yang kuminum sejak tadi, aku merasa darah di seluruh tubuhku mengalir cepat ke permukaan kulit, hawa pun terasa sangat panas.

Kami masih saling tatap. Kali ini terasa ada sesuatu yang lain dari tatapan kami berdua.

“Bell…,” bisikku memecah kesunyian antara kami.  “Kamu cant—”

Tepat pada saat itu ponselku berdering.

***

Pukul 22.20.

Biasanya saat ini aku sudah di rumah, menyelesaikan makan malam sambil bertukar cerita dengan istriku. Bercerita tentang apa yang terjadi sepanjang hari ini meski tak ada yang istimewa.

Baca juga:  Monoton: 17 November

Biasanya saat ini aku sedang mandi selama sepuluh menit lalu keluar dari kamar mandi dan melihat istriku sudah terlelap karena setiap pagi dia bangun pukul empat.

Itu biasanya.

Tapi sudah hampir satu bulan ini banyak hal yang tidak biasa terjadi.

Quin melepaskan pagutannya dari bibirku. Napasnya memburu, sama sepertiku.

Saat ini aku berada di apartemennya setelah beberapa waktu lalu menerima telepon dari perempuan muda yang akan menjadi penerus Regna Group ini.

“Congrate untuk hari ini,” ujarnya dengan napas yang masih memburu dan wajah bersemu merah.

Aku berdehem untuk sedikit menetralkan suasana dan ‘mendinginkan’ tubuhku yang ‘panas’ karena tindakannya tadi.

“Jadi, ada sesuatu yang urgenkah sampai aku dipanggil malam-malam begini?” tanyaku.

Setelah beberapa lama mengenalnya, aku mulai tahu perempuan muda ini memiliki banyak sisi kepribadian yang terkadang saling bertentangan.

Di satu waktu ia tampak bagai perempuan lemah yang tunduk pada keluarganya. Di lain waktu ia terlihat sebagai perempuan muda dengan hasrat liar penuh gelora. Namun bisa saja ia sewaktu-waktu menjelma menjadi seorang businesswoman yang keras kepala dan mampu menekan lawan bicaranya.

Quin merebahkan dirinya di sofa, matanya lurus menatap langit-langit apartemennya.

“Urgen tidaknya tergantung dari sisi mana kamu memandang,” ujarnya.  “Menurutmu pertemuan kita malam ini mungkin tak penting, tapi buatku sebaliknya.  Oh, by the way, mau minum?”

Aku menggeleng.

“Terima kasih, aku sudah minum tadi.”

Quin masih menatap langit-langit.

Diam-diam aku memerhatikannya. Saat ini ia mengenakan kemeja lengan panjang berbahan sifon yang…

Transparan?

Sialan! makiku dalam hati.

“Aku tahu kamu belum pulang, makanya aku telepon dan minta kamu datang ke sini,” tukas Quin.

“Dan sekarang sudah saatnya aku pulang,” balasku.

“Kamu bisa bilang ke istrimu kalau sekarang masih bersama teman-temanmu.”

“Ini sudah terlalu malam,” aku berargumen.  “Besok aku harus kembali bekerja.”

“Kamu besok bisa off,” Quin tak mau kalah.  “Nggak ada masalah, ‘kan?”

Aku mengeluh dalam hati.

“Baiklah,” kataku kemudian.  “Sebenarnya ada apa?”

Quin bangkit dari sofa dan menatapku.

Tatapan itu lagi!

“Aku hanya mengingatkanmu soal penawaranku beberapa hari lalu,” katanya.  Ia lalu menuang minuman ke dalam gelas kecil dan menyodorkannya padaku.  “Yakin nggak mau?  Ini kualitas tinggi, lho.  Beda jauh dengan apa yang tadi kamu minum bersama teman-temanmu.”

Baca juga:  Monoton: 25 Januari

Aku menggeleng.

“Terima kasih, sepertinya aku sudah cukup minum tadi.”

Quin tertawa kecil kemudian menghabiskan minuman tersebut dalam sekali teguk.

“Jadi, gimana?  Kamu sudah ngambil keputusan?” tanyanya.

“Aku–,” ragu-ragu aku menjawab.  Masih terbayang di benakku permintaannya beberapa hari lalu dimana ia menjanjikan kenikmatan dan kejayaan duniawi padaku dengan syarat

“Damn!” ia terdengar sangat kesal.  “Aku tahu.  Kamu masih minta waktu, ‘kan?”

Aku mengangguk.

Quin mendengus.

“Kamu harusnya paham bahwa semakin lama kamu mengambil keputusan, makin banyak uang perusahaan yang… no, no, makin banyak uang grup yang disedot para lintah itu.”

“Tapi, mamamu ‘kan owner-nya,” bantahku.  “Kamu ‘kan juga terhitung sebagai pemilik grup, masa’ kalian nggak bisa melakukan sesuatu?”

“C’mon, didn’t I tell you?!” nada suara Quin mulai meninggi.  “Mereka sudah membuat Mama dan aku terkunci dari segala informasi tentang grup.  Mereka membuat laporan-laporan palsu untuk keuntungan pribadi.”

Quin membanting dirinya di sofa.

“Mungkin satu-satunya privilese yang saat ini kami miliki adalah menunjuk atau mengeluarkan orang.”

“Nah, itu!” cetusku.  “Kamu bisa menempatkan orang yang kamu percaya ‘kan?”

“Yeah,” ia menyahut.  “Dan saat ini, orang itu adalah kamu!  Kamu orangnya.”

Aku tertegun sementara Quin kembali meneguk minumannya.

“Kalau begitu…,” aku melihat adanya peluang.  “Kamu bisa menempatkan aku di perusahaan atau di grup sebagai orang kepercayaanmu tanpa aku harus – katakanlah – menikah denganmu.  Bisa, ‘kan?”

Quin menggeleng.

“Jika sesederhana itu, tentu aku tidak mengajukan penawaran seperti itu padamu,” ia meneguk minumannya untuk yang ketiga kali.

Aku melihat wajahnya mulai merah.

Oh, tidak.

Jangan.

Meski mengenakan kemeja tipis, saat ini Quin terlihat kegerahan.

“Kamu harus tahu,” katanya dengan wajah merah akibat pengaruh alkohol yang diminumnya.  “Di Regna Group, anggota keluarga akan memiliki kekuasaan nyaris tak terbatas.  Masalahnya, para lintah itu sudah mengunci sehingga cuma laki-laki yang bisa terlibat urusan bisnis.  Para perempuan cukup diam di rumah.”

“Tapi, kamu ‘kan punya kakak laki-la—”

“Sshh,” potong Quin cepat.  Telunjuknya memberi isyarat padaku untuk diam.  “Hhh, gerah banget, sih.”

Jangan.

Jangan sekarang.

Dengan sekali sentak, salah satu kancing kemeja yang ia kenakan terlepas dan jatuh ke lantai karpet. Darahku berdesir.

“Jangan bawa-bawa kakakku,” lanjutnya.  “Kamu mau perusahaan hancur?”

Baca juga:  Monoton: 30 Oktober

Aku tak berani membantahnya, namun kesempatan ini aku gunakan untuk mencuri pandang ke bagian tubuhnya yang saat ini tak lagi tertutup.

“Begitu aku menjadikanmu suami, kamu akan jadi bagian keluarga Wongso dan punya kekuasaan penuh di grup.  Melalui kamu sebagai suami, aku bisa mendapatkan informasi penting yang selama ini disembunyikan.  Aku pun bisa terlibat dalam pengambilan keputusan strategis walaupun caranya nggak langsung, mesti lewat dirimu dulu sebagai suamiku.”

Aku ternganga mendengar penuturannya barusan.

Jadi, begitu…

Sekarang semua jadi begitu jelas.

Penawaran ini adalah simbiosis.

“Sekarang aku mengerti,” aku mengangguk-angguk.  “Intinya, kamu akan menggunakan kekuasaanku nanti untuk mendapat informasi penuh dan mengatur jalannya perusahaan.”

Quin mengangguk, ia menyentak kemejanya hingga satu kancing lagi terlepas.

“Sebagai imbalannya,” aku melanjutkan.  “Aku mendapat dirimu dan harta keluarga Wongso.”

“Persis,” Quin tertawa kecil.  “Sekarang kamu paham, ‘kan?”

“Tapi…,” aku berpikir keras.  “Kenapa kamu memilihku?  Di sekitarmu pasti banyak laki-laki yang menginginkanmu dan bersedia melakukan apapun untukmu.”

Quin menghampiriku, kedua matanya – yang kini sayu – memandangku.

“Kata-katamu benar,” desahnya.  “Tapi kaupikir aku ini perempuan murahan yang menyerahkan diri pada sembarang laki-laki?”

Ia duduk di pangkuanku, kami saling berhadapan.

Lagi-lagi darah di seluruh tubuhku mengalir kencang.

“Cepatlah mengambil penawaranku, atau mereka akan memilihkan suami baru yang nggak berguna untukku.”

Bibirnya menyentuh bibirku.

Sama seperti beberapa waktu lalu, aku pun terlena dan lupa diri.

“Atau… apa syarat yang kuajukan terlalu berat untukmu?” jemarinya kini menelusuri setiap sentimeter kulit tubuhku yang masih terpengaruh hangatnya alkohol.

Aku memejamkan mata.

Sayup kudengar ponselku berbunyi dengan dering yang sangat familiar di telingaku. Dering yang khusus kupasang bila istriku menelepon.

Namun saat ini aku telanjur tenggelam bersama perempuan muda berusia 23 tahun di hadapanku ini.

-BERSAMBUNG-

Monoton: 24 Oktober | Monoton: 21 November | Monoton: 26 November

Catatan:

  • Kesamaan nama tidak merujuk pada nama-nama yang ada di dunia nyata, semata murni untuk pengembangan karakter.
  • Bagi yang berminat, cerbung ini menerima iklan berupa link, narasi, maupun dialog (beserta logo, jika perlu) sila hubungi saya di inbox[at]ryanmintaraga[dot]com
  • Saya ingin mencoba menulis sesuatu yang melelahkan untuk dibaca, sesuai judulnya.
  • Kunjungi, sukai, dan share official page Cerbung “Monoton”
SUMBER GAMBAR: WIKIPEDIA

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan komentar