Monoton: 25 Januari

Monoton | Ryan Mintaraga
Monoton | Ryan Mintaraga
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Lama baca: 5 menit

Satu bulan sudah aku menempati posisi baruku sebagai Finance Manager. Selama satu bulan itu pula aku lebih sering menginap di apartemen yang Quin berikan padaku.

Berikan?

Benarkah Quin memberikan apartemen ini padaku?

Bukankah dia hanya mengatakan bahwa aku boleh memakai apartemen ini?

Selama aku menginap di apartemen, Quin beberapa kali datang menemui dan menemaniku melewati malam.

“Tahukah kamu?” bisiknya suatu ketika.  “Aku sangat senang setiap kamu memutuskan menginap di sini.”

Namun, untuk kenikmatan sesaat yang aku dapat darinya, ada harga yang harus dibayar, dan aku terlambat menyadari bahwa harga yang dibayar sangat besar.

Untuk setetes kenikmatan bersama Quin, ikatan perkawinanku jadi semakin rapuh, hubunganku dengan istriku pun terus memburuk dan makin buruk.

***

Hari ini Sabtu, pukul 09.04.

Aku bangun dari tidur dan tak menemukan istriku. Tak ada pesan apapun darinya, juga tak ada makanan atau minuman di meja makan.

Aku meraih ponsel dan mencoba meneleponnya, namun tak ada respon.

Aku menghela napas lalu memandangi seisi rumah. Rumah ini, rumah yang tak terlalu besar ini.

Semua tersusun rapi di tempatnya. Gunting kuku selalu ada di atas kulkas, remote TV selalu berada tepat di samping TV, sandal selalu berada di tempatnya. Semua selalu berada di tempatnya.

Untuk urusan ini, istriku memang orang yang sangat rapi. Ia selalu meletakkan barang-barang kecil di tempat yang sama, di situ-situ saja, berbeda denganku yang sembarangan jika sudah menyangkut urusan rumah.

“Biasakan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya,” begitu kata-kata yang sering ia ucapkan.

Karena kebiasaannya itulah, aku tak pernah kesulitan mencari barang-barang di rumah ini.

Baca juga:  Monoton: 10 Maret

Aku kembali menghela napas.

Kuketik sebaris pesan padanya, menanyakan keberadaannya, setelah itu aku beranjak ke kamar mandi.

***

Aku mengenal Nia – istriku – kurang-lebih tigabelas bulan lalu. Saat aku mengenalnya, Nia terang-terangan mengatakan dirinya seorang janda. Setahun sebelumnya, suaminya meninggal karena sakit – di usia yang masih terbilang muda.

Enam bulan lalu, aku meminang Nia, menjadikannya istriku.

Kehidupan pernikahan kami cukup sempurna, setidaknya itulah yang terlihat di mata orang lain.

Hanya saja ada satu masalah.

“Maafkan aku, Sayang.”

Jika istriku sudah berkata begitu, aku harus meredam hasratku yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia juga kadang menangis saat kami bercinta.

Kenapa dia seperti itu?

Apa dia masih teringat suami pertamanya?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku. Meski mencoba memakluminya, ada beberapa saat di mana aku tak bisa menerima penolakan dari istriku sendiri.

Terkadang aku merasa diduakan olehnya. Aku juga sering marah pada diri sendiri.

Jika dia memang tidak mencintaiku, kenapa dulu dia mau menikah denganku?

Jika dia memang belum bisa move on dari suami pertamanya, kenapa dulu dia mau menikah denganku?

Aku pernah menanyakan pada keluarganya, seperti apa suami pertama Nia. Dari mereka, aku yakin bahwa aku masih lebih baik dari laki-laki itu.

Tapi kenapa?

Aku pernah membicarakan hal ini dengan istriku dan memintanya baik-baik untuk menemui psikiater, tapi–

“Kamu pikir aku gila?!” teriaknya.  Ia lalu beranjak ke kamar dan membanting pintunya, meninggalkan aku sendiri di ruang tengah.

Hasrat yang tak terpuaskan membuatku kembali ke kebiasaan lamaku, berburu dan menonton video porno. Aku pun jadi sering berfantasi meniduri perempuan-perempuan yang ada dalam video tersebut.

Baca juga:  Monoton: 30 Oktober

Istriku mengetahui kecanduanku karena beberapa kali ia memergokiku, namun sepertinya ia tak peduli. Sesekali ia memang meminta maaf padaku, namun yang sering ia katakan adalah,

“Jangan sampai ketahuan orang lain.  Kamu nggak malu apa?”

Kecanduan dan fantasiku berlanjut hingga suatu hari aku tak sengaja bertemu salah satu perempuan yang ada dalam video-video yang sering aku tonton itu.

Perempuan itu adalah Natasha Bella, sekretaris direksi di tempatku bekerja.

***

Selesai mandi, aku langsung memeriksa ponsel, memeriksa apakah istriku membalas pesan yang kukirimkan.

Tidak ada?!

Aku mendengus kesal.

Dia ke mana, sih?!

Atau mungkin–

Aku kembali ke kamar dan bergegas membuka lemari pakaiannya.

Ternyata benar!

Aku sadari tumpukan pakaian di lemarinya berkurang tingginya. Artinya, istriku pergi membawa pakaian yang cukup banyak.

Istriku meninggalkanku, setidaknya selama beberapa hari.

Paling tidak, dia pasti ke rumah orang tuanya, pikirku.

Buru-buru aku berganti pakaian. Bagaimanapun, aku harus memastikan apakah benar istriku ada di rumah orang tuanya. Jika dia memang ingin menginap di rumah orang tuanya selama beberapa hari, aku tak akan melarang.

Kusambar kunci mobil yang selalu ada di meja hias ruang tengah yang sekaligus berfungsi sebagai tempat kami menaruh buku, koran, dan surat-surat.

Tepat pada saat itu pandanganku terantuk pada amplop coklat di atas meja.

Apa ini?

Aku belum pernah melihat amplop coklat itu.

Kubolak-balik amplop berukuran C4 itu, tidak ada nama pengirim. Di permukaan amplop hanya tertulis nama istriku sebagai penerima.

Dari siapa?

Apa isinya?

Penasaran, aku membuka amplop tersebut untuk melihat isinya.

Deg!

Untuk sesaat jantungku terasa berhenti berdetak.

Tanganku gemetar, kepalaku pun mendadak pening.

Baca juga:  Monoton: 24 Februari (1)

I—Ini?!

Bagaimana mungkin?!!

Siapa?!

SIAPA?!

Amplop itu berisi beberapa lembar foto berukuran 8R.

Rasa hatiku makin tak karuan, kepalaku makin terasa pening seiring lembar demi lembar yang memperlihatkan isi foto yang ada di tanganku saat ini.

Aku—

Aku ketahuan!

Keringat mengucur dari tubuhku, delapan lembar foto yang memperlihatkan keintimanku dengan Quin – dan Bella – seolah jadi jawaban kenapa istriku meninggalkanku.

Aku terduduk di sofa, memukul-mukul pahaku sendiri, mengutuk kebodohanku.

Perlahan, rasa sesal berganti menjadi kemarahan.

Napasku kini memburu, tanganku bergetar penuh amarah. Aku teringat kata-kata Bella sewaktu istriku mengalami kecelakaan.

“Aku memang pernah dengar Regna Group punya bisnis pengawalan. Bisnis pengawalan itu dimiliki dan dijalankan Jack Wongso, kakak Quin. Tapi aku nggak nyangka mereka bisa berbuat seperti itu terhadap istrimu.”

Rangkaian peristiwa demi peristiwa yang terjadi belakangan ini menyatu di kepalaku membentuk sebuah puzzle yang terlihat jelas.

Perempuan sialan itu!

Dia pasti terlibat!

QUIN!!

-BERSAMBUNG-

Monoton: 24 Oktober | Monoton: 28 Desember | Monoton: 08 Februari

Catatan:

  • Kesamaan nama tidak merujuk pada nama-nama yang ada di dunia nyata, semata murni untuk pengembangan karakter.
  • Bagi yang berminat, cerbung ini menerima iklan berupa link, narasi, maupun dialog (beserta logo, jika perlu) sila hubungi saya di inbox[at]ryanmintaraga[dot]com
  • Saya ingin mencoba menulis sesuatu yang melelahkan untuk dibaca, sesuai judulnya.
  • Kunjungi, sukai, dan share official page Cerbung “Monoton”
Sumber Gambar: DesiringGod

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan komentar