Monoton: 2 Maret

Monoton | Ryan Mintaraga
Monoton | Ryan Mintaraga
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Lama baca: 5 menit

Selasa, 09.47.

MPV Lexus LM yang membawa kami – tepatnya aku dan Quin, juga Lisa pengawal pribadinya – melaju kencang di tol Sentul.  Hari ini Quin akan mempertemukanku dengan mamanya, Regina Wongso, pemilik Regna Group.

Aku menghela napas.

Sudah satu tahun pandemi global melanda dunia, menggerus ekonomi banyak negara dan merontokkan beberapa entitas bisnis.  Bisnis yang masih bertahan – mau tak mau melakukan penghematan di sana-sini.

Tak terkecuali Regna Group.

Menurut Quin, pertemuan yang akan diadakan ini sebenarnya merupakan pertemuan tertutup Dewan Eksekutif Regna Group membahas langkah yang akan diambil terkait pandemi.

“Tapi Mama juga mau ketemu kamu,” lanjutnya sembari mengusap dan mencium tanganku.  “Mungkin Mama akan minta kamu menikahiku secepatnya.”

Aku mendeham.

“Untuk mengamankan suara dan posisimu di Dewan Eksekutif, pastinya,” sambungku.

“Of course,” balas Quin.  “Memangnya apa lagi?  Pernikahanku yang sebelumnya juga karena itu.  Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menjadi penerus bisnis.”

Aku terdiam.

Teringat komunikasiku terakhir kali dengan Nia – istriku yang sampai kini tak ada kabar beritanya.

Nia, apa kamu baik-baik saja?

Kenapa kamu tak pernah lagi menghubungiku?

***

Pukul 18.12.

“Mama, kenalkan,” Quin memperkenalkanku dengan seorang perempuan paruh baya yang tampak sangat anggun.  Sorot matanya hangat, ramah, dan keibuan, namun juga terlihat cerdas dan berwibawa.

Perempuan itu Regina Wongso, akrab dipanggil Bu Rere, mama Quin.

“Oh, kamu orangnya?” sapa Bu Rere.  Gaya bicaranya cepat dengan nada yang rendah.  “Maaf, ya, pertemuan tadi berjalan lama.  Kamu tahu, menutup perusahaan yang merugi di masa pandemi gini benar-benar harus dipikirkan akibat-akibatnya, terutama ke karyawan.”

Aku mengangguk mendengar apa yang Bu Rere katakan berikutnya.  Dalam hati aku paham mengapa Bella sangat menaruh hormat pada perempuan bijaksana tersebut.

Baca juga:  Monoton: 11 November

Tidak, pikirku.

Bella bukan hanya sangat hormat pada Bu Rere.

Ia – Bella – menyatakan setia pada Bu Rere.

Terngiang Kembali kata-kata Bella di telingaku.

“Bu Rere dan Asterina adalah penyelamatku.  Karena itu aku akan melakukan apapun untuknya dan keluarganya.”

***

Pukul 19.40.

Obrolan kami bertiga berlanjut di ruang makan.  Di luar bayanganku, alih-alih makan di meja besar, Bu Rere mengajak kami makan di meja yang lebih kecil.

“Ini khusus keluarga,” ujarnya santai, masih dengan gaya bicara yang cepat.  “Saya lebih suka makan di sini.  Ayo, makan lagi.”

“Banyak orang yang ingin makan bersama Mama di meja ini,” tutur Quin.  “Dan hari ini kamu langsung mendapatkannya.”

“Terima kasih untuk kehormatannya, Bu,” aku menunduk penuh hormat.

“Sssh, apa, sih?” Bu Rere mengibaskan tangannya.  “Sudahlah, hari ini saya memang pengen makan di sini.  Sudahlah, Quin, nggak usah – apa itu – lebay.  Ya, nggak usah lebay.  Plis, deh.”

Kami bertiga tertawa kecil.  Lagi-lagi aku harus mengakui Bu Rere memang orang yang sangat baik.

“Nah, jadi…,” Bu Rere membuka pembicaraan lagi.  “Quin sudah cerita semuanya ke saya.”

“Oh, ya?”

Dalam hati aku bertanya, apa saja yang sudah Quin ceritakan pada mamanya.

“Saya akui saya pernah berbuat kesalahan besar dengan menyetujui begitu saja laki-laki yang mereka sodorkan pada Quin untuk jadi suaminya,” Bu Rere melanjutkan ucapannya.  “Sudah orangnya beda usia jauh sama Quin, nggak bisa apa-apa, suka main perempuan, statusnya waktu itu masih suami orang, lagi.”

“Mam,” Quin mencoba memotong ucapan mamanya.  “Sudah, jangan ngomong itu lagi.”

“Apa, sih?” sergah Bu Rere kemudian menoleh lagi ke arahku.  “Kamu jangan kuatir, Quin ini masih muda.  Sebagai perempuan pastinya masih segar dan kuat melahirkan anak.”

Baca juga:  Monoton: 30 Oktober

Aku diam-diam melirik Quin, wajahnya terlihat memerah.

What?!

Sisi apa lagi dari dirinya yang kali ini muncul?!

Kenapa wajahnya merah begitu?

Sialan!  Aku jadi deg-degan begini!

Bu Rere melanjutkan ceritanya.

“Dari ketiga anak saya hanya Quin dan kakak perempuannya Asterina yang saya rasa cocok menggantikan saya di Regna Group kelak.  Jack kakak laki-lakinya?  Dia punya visi sendiri tentang bisnis.”

Bu Rere menghela napas.

“Tapi, Asterina sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa dia tidak tertarik untuk terjun ke dunia bisnis.  Terlalu keras, katanya.  Keberadaannya di Dewan Eksekutif semata agar posisi tersebut tidak diambil orang-orang yang serakah di sekeliling kami.”

“Mam,” Quin menyentuh dan mengusap tangan mamanya.  “Mama jangan kuatir, aku akan depak mereka dari Regna Group.”

“Mama yakin kamu bisa,” balas Bu Rere.  “Apalagi dengan orang yang tepat seperti calonmu ini.  Status dudanya tak Mama hiraukan, yang terpenting adalah kamu tidak merebut suami orang.  Jangan buat kesalahan yang sama seperti dulu.”

Deg!

Ca…lon?  Sejak kapan?!

Duda?!  Apa-apaan?!

Quin, apa yang kamu ceritakan pada mamamu?!

Quin tersenyum.

***

“Apa-apaan tadi?!” seruku padanya di apartemen setelah kembali dari kediaman Bu Rere.  “Kamu bilang pada mamamu kalau aku sudah cerai?!  Kamu bilang pada mamamu bahwa aku calonmu?!”

Quin memandangku dengan tatapan menantang.

“Iya, memang benar aku bilang seperti itu.”

“Beraninya kamu!” seruku lagi.  “Atas dasar apa kamu ngomong seperti itu?!”

“Bukannya kamu memang sudah cerai, ya?” tanya Quin santai.

“SIAPA BILANG?!” suaraku makin tinggi.  “Masih proses, Quin.  PROSES!  Kamu nggak tau apa itu proses?!”

Quin tertawa kecil.

“Masa?” tanyanya sinis.  “Prosesnya kok lama, ya?  Sampai sekarang belum ada hasilnya?  Atau jangan-jangan kamu sembunyikan?  Terus, apa kalian masih kontak-kontakan?  Kamu tau kabar MANTAN istrimu sekarang?”

“Hei!” seruku lagi.  “Nia masih ISTRIKU!  I-S-T-R-I-K-U!”

Baca juga:  Monoton: 28 Oktober

“Whateverlah, nggak penting juga sekeras apa kamu berusaha menyangkal.  Nyatanya dia sudah nggak mau ketemu kamu.”

Sebelum aku sempat bertanya maksud ucapannya barusan, perempuan muda tersebut menuju meja kerjanya dan mengambil satu berkas dokumen – atau tepatnya, salinannya.

“Ini,” katanya padaku.  “Baca.”

Kubaca satu demi satu kalimat yang tertulis dalam dokumen itu.

Berikutnya, tubuhku gemetar, jantungku berdebar kencang, napasku memburu.

“Maafkan aku karena menyakitimu,” tutur Quin pelan.  “Dokumen itu adalah perjanjian antara pengacaraku dengan istrimu Nia.”

“Apa… apa maksudmu?” hanya itu yang bisa kukatakan berulang-ulang.  “Apa maksudmu?  Kenapa kamu lakukan ini?”

“Aku terpaksa, Sayang,” Quin menghampiri dan mencoba memelukku, namun aku mundur dan menjauh darinya dua langkah.

“Jangan!  Jangan dekat,” kataku.

Quin menghela napas.

“Kenapa… kenapa kamu lakukan ini?” gumamku berulang-ulang.  “Kenapa?”

Andai waktu itu aku tidak menolongnya dari tamparan Pak Ryan suaminya, tentu ini tidak akan terjadi.

Andai aku tidak mengenalnya, tidak pernah mengenalnya, tentu ini tidak akan pernah terjadi.

Dalam dokumen perjanjian yang ada di tanganku tertera pernyataan bahwa Nia – istriku – setuju menggugat cerai aku – suaminya – dengan sejumlah kompensasi.

“Kenapa, Nia?  Kenapa, Quin?” keluhku.

Hari ini Rabu dini hari pukul 00.06.

-BERSAMBUNG-

Monoton: 24 Oktober | Monoton: 24 Februari | Monoton: 10 Maret

Catatan:

  • Kesamaan nama tidak merujuk pada nama-nama yang ada di dunia nyata, semata murni untuk pengembangan karakter.
  • Bagi yang berminat, cerbung ini menerima iklan berupa link, narasi, maupun dialog (beserta logo, jika perlu) sila hubungi saya di inbox[at]ryanmintaraga[dot]com
  • Saya ingin mencoba menulis sesuatu yang melelahkan untuk dibaca, sesuai judulnya.
  • Kunjungi, sukai, dan share official page Cerbung “Monoton”
SUMBER GAMBAR: Pixabay

Dipublish pertama kali di blog.ryanmintaraga.com.  Copasing diperbolehkan dengan mencantumkan lengkap alamat URL di atas atau dengan tidak menghapus/mengubah amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

Bagikan Jika Artikel Ini Bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp
Telegram

2 pemikiran pada “Monoton: 2 Maret”

Tinggalkan komentar

%d blogger menyukai ini: