Lama baca: 6 menit
Bumi, 2920 tahun setelah peristiwa ‘Tumbukan Besar’.
Aku terbangun dengan malas dan melirik pergelangan tangan untuk melihat pendar angka yang tertera.
Jam 5 pagi?
Pendaran angka di pergelangan tangan kekarku dihasilkan oleh nanochip yang ditanam semenjak aku lahir 70 tahun lalu. Di masa ini, dalam tubuh setiap orang tertanam dua buah nanochip; satu nanochip master berisi identitas pribadi nama, alamat, usia, golongan darah, rekening bank, catatan pajak, riwayat kesehatan, dan lain-lain yang terhubung dengan pusat data, sementara satunya adalah nanochip cadangan berisi informasi dasar dan hanya akan aktif apabila nanochip masternya rusak.
Dengan perintah suara dariku, jendela apartemen pun terbuka, memperlihatkan langit di luar sana yang masih gelap.
“Ada apa?” terdengar satu suara wanita di belakangku. “Apa sekarang sudah waktunya?”
“Informasinya begitu,” sahutku, “tapi langitnya masih gelap, mungkin sebentar lagi.”
Aku bermaksud memeluk wanita tersebut, tapi ia keburu bangkit dari tempat tidur tanpa menghiraukanku.
“Baiklah, aku pulang dulu,” ujarnya seraya menuju pintu keluar dengan tubuh telanjang. “Sampai nanti.”
Dengan desiran halus, pintu apartemenku sekejap terbuka kemudian menutup kembali.
Tinggallah aku sendiri.
Sunyi.
Aku bangkit dari tempat tidur dan becermin.
Aduh.
Bercak ini…
Aku mulai tak tenang.
Kapan sih mereka bisa menyempurnakan teknologinya?
Kemajuan teknologi di masa ini membuat seseorang tak akan pernah tua.
Saat seseorang sudah memasuki usia 50 tahun, tubuhnya harus diganti dengan tubuh baru, tubuh yang berusia 20-an tahun. Prosedur penggantian tubuh ini harus melalui tahapan perakitan tubuh baru menggunakan sel punca dan tulang ekor serta memakan waktu sekitar 1 tahun.
Konon di masa lalu proses ini disebut kloning.
Karena pengambilan tulang ekor dari tubuh hanya dibolehkan ketika seseorang sudah dinyatakan meninggal dunia, pemerintah mengharuskan orang-orang yang berusia 50 tahun untuk menjalani euthanasia yaitu suntik mati.
Setelah seseorang menjalani euthanasia dan dinyatakan mati, tim medis segera melakukan pembedahan untuk mengambil tulang ekor dan otak yang masih segar.
Otak lalu ditempatkan dalam tabung khusus dan dihidupkan kembali menggunakan impuls listrik, sementara tulang ekor dipecah-pecah sekecil mungkin kemudian dicangkokkan pada beberapa embrio yang sudah dibiakkan sebelumnya.
Proses perakitan tubuh dilanjutkan dengan melakukan injeksi DNA awal yang tersimpan di sel punca. Tahap akhir dari keseluruhan proses adalah menanamkan kembali memori dari otak lama ke otak baru.
Bagaimana dengan organ tubuh lain? Mata? Jantung? Ginjal?
Jika masih bagus, organ-organ tubuh tersebut akan disimpan di bank organ dan digunakan untuk kondisi darurat medis, sementara jika tidak bagus, akan dihancurkan – sama seperti embrio-embrio yang dianggap gagal dalam proses perakitan.
Aku sendiri belum sempat menjalani euthanasia karena keburu mati beberapa bulan sebelum waktuku tiba.
Dan inilah tubuhku yang sekarang, muda dan sehat.
Kecuali bercak kecil di dahiku.
Sampai saat ini kemajuan teknologi medis belum mampu menghilangkan salah satu efek samping penggunaan tubuh kloning yaitu munculnya bercak merah yang hanya menyebar di seluruh wajah, tidak ke bagian tubuh lain. Bercak itu disebut-sebut karena bakteri serta menimbulkan rasa gatal yang luar biasa menyiksa, dan tidak ada yang mampu meredakannya kecuali sinar matahari.
Aku beruntung, hari ini matahari akan terbit…
Aku keluar dari apartemen dengan mantel yang tak dikancingkan untuk sekadar menutupi sebagian tubuh telanjangku.
“Hai.”
Aku menoleh mendengar suara itu dan tersenyum. Wanita yang semalam bersamaku, ia masih saja tak mengenakan apa-apa, sama seperti beberapa orang lainnya yang berpapasan dengan kami.
Ia tertawa melihatku mengenakan mantel.
“Yang benar saja. Apa kau masih membutuhkannya? Saat ini?” tanyanya sembari mencubit mantel yang kukenakan.
Aku hanya mengangkat bahu.
Pada saat itu entah bagaimana satu benda kecil terjatuh dari saku mantel yang kukenakan.
“Apa itu?” tanya si wanita.
Aku membungkuk dan memungut benda tersebut.
Apa ini?
Buku?
Keningku berkerut.
Aku membolak-balik halaman buku kecil itu dan sekilas membaca isinya.
ASTAGA!!
Tanpa sadar aku melempar buku tersebut.
“Ada apa?” tanya si wanita, sementara beberapa orang lalu-lalang tanpa memedulikan kami.
“Buku milik Kaum Pendongeng,” ujarku singkat dengan suara bergetar dan nyaris tak terdengar.
“Astaga,” ia menutupi mulutnya dengan tangan kemudian berbisik, “bukankah itu ilegal? Darimana kau mendapatkannya?”
“Aku tak tahu,” jawabku. “Tampaknya buku itu sudah lama ada di saku mantel ini.”
Ingatanku kembali ke masa 40 tahun lalu saat orang terakhir dari kaum yang disebut ‘Kaum Pendongeng’ mati. Orang itu mati menyusul orang-orang dari kaumnya yang mati secara mendadak dan serempak tanpa sebab yang bisa dijelaskan. Polisi pun rupanya tak ingin mengusut kasus tersebut, bahkan masyarakat malah senang karena selama ini keberadaan Kaum Pendongeng dirasa sangat mengganggu.
“Ingatlah pada-Nya! Akhir dunia sudah dekat!” itu yang sering diucapkan Kaum Pendongeng.
“Hei!” si wanita menepuk pundakku. “Sudahlah, jangan dipikirkan, toh mereka semua sudah mati.”
Aku mengangguk.
“Ngomong-ngomong, apa setelah ini kau masih punya waktu?” tanyaku nakal sembari memandang tubuhnya.
Ia hanya tertawa.
“Oh ayolah, seperti tidak ada orang lain saja,” tukasnya sembari memandang kerumunan manusia telanjang yang menghadap ke arah timur menunggu terbitnya matahari, sang bola raksasa berwarna merah.
Aku memandang langit.
Masih gelap.
“Kenapa masih gelap ya?” gerutu si wanita.
“Entahlah, tapi kita semua tahu kondisi Bumi,” jawabku.
“Katanya dulu planet ini memiliki rotasi yang teratur,” sungutnya.
“Kata siapa?” tanyaku.
“Mereka.”
“Oh.”
‘Mereka’ adalah sebutan kami bagi Kaum Pendongeng.
“Lantas?” tanyaku masih memandang langit.
“Yah, kau tahu,” jawabnya. “Tumbukan Besar.”
Aku bergumam pendek.
Ya, semenjak peristiwa ‘Tumbukan Besar’, rotasi Bumi tidak lagi stabil. Rotasi planet ini kadang cepat, kadang lambat, bahkan pernah sama sekali tidak bergerak.
Seperti saat ini.
Sudah 3 bulan Bumi tak berotasi, artinya selama 3 bulan pula kami tak terkena cahaya matahari.
Sialnya lagi, sisi Bumi yang beruntung terkena pancaran matahari selama 3 bulan itu adalah sisi yang sudah hancur akibat ‘Tumbukan Besar’ dan tak bisa didiami manusia.
Namun semalam kami mendapat berita gembira bahwa Bumi sudah mulai berotasi, dan matahari akan segera terbit.
Saat ini cahaya matahari sangat diperlukan untuk meredakan serangan bakteri yang membuat gatal kulit. Bakteri itu akan luruh terkena sinar matahari, sebagian kembali menyusup ke dalam daging, menunggu saat tepat untuk kembali muncul.
“Sudah jam 7, matahari belum muncul juga,” gerutu salah seorang diantara kami. Sekilas aku lihat bercak merah sudah memenuhi separuh wajahnya. Gatalnya pasti tak terperikan.
“Ya,” ujar yang lain. “Kita sudah terlalu lama menunggu.”
“Stasiun cuaca pasti salah!” imbuh yang lain.
“Tapi mereka tidak bisa dihubungi.”
“Berarti memang benar Bumi sudah bergerak.”
“Tapi kenapa lama sekali?”
Suara-suara ketidaksabaran mulai terdengar di sana-sini.
“Wahai Matahari Yang Agung! Muncullah!” beberapa orang mulai berteriak berulang-ulang.
Aku memandang si wanita yang juga sudah mulai cemas. Parahnya, saat kemunculan matahari selalu menyebabkan gangguan komunikasi sehingga aku tak bisa mengakses informasi dari stasiun cuaca.
Keadaan mulai gaduh dan tak terkendali.
Namun tiba-tiba setitik harapan muncul.
“Hei! Lihat!” seseorang berseru menunjuk langit yang mulai merah.
“Langitnya!”
“Ia datang! Atria Sang Matahari datang!”
“Wahai Matahari Yang Agung! Muncullah!”
“Mari kita menyambut Sang Agung!”
“Matahari Yang Agung!”
“Atria! Atria!”
“Muncullah!”
Beberapa orang yang masih mengenakan pakaian segera menanggalkannya – seperti aku.
Kami semua lautan manusia serempak menghadap ke timur dalam keadaan telanjang, menunggu terbitnya matahari yang kami sebut sebagai Atria.
Langit semakin terang, hawa terasa semakin hangat. Aku memejamkan mata merasakan hangatnya cahaya matahari yang naik dari ujung kaki hingga punggung.
Tunggu.
Punggung?
Pada saat itu aku merasakan keganjilan.
Kenapa punggung? Bukankah aku menghadap timur?
Bukankah seharusnya perut dan dadaku yang hangat?
Tiba-tiba saja satu ketakutan menguasai benakku.
Jangan-jangan…
Aku teringat kata-kata si pendongeng terakhir beberapa saat sebelum ia mati.
Matahari…
Matahari akan…
Saat itu mulai terdengar jerit kesakitan serta kepanikan di sekitarku dan mendadak aku merasa punggungku panas. Sangat panas. Begitu panas hingga aku membuka mata.
“Panas!” seruku.
Aku berbalik, berusaha melihat punggungku yang rasanya seperti terbakar.
Dan…
Aku tak percaya dengan apa yang kulihat sementara rasa panas itu kini berganti membakar perut dan dadaku.
Jerit kesakitan, kepanikan, dan kengerian semakin keras terdengar di sana-sini.
Aku teringat kembali kata-kata si pendongeng terakhir.
“Matahari akan terbit dari barat.”
-Jakarta, 04 November 2019-