Lama baca: 4 menit
Cuaca yang semula panas menyengat mendadak berubah. Langit menjadi gelap, angin bertiup kencang, dan satu demi satu titik hujan turun dari langit – menusuk wajahku yang tak tertutup helm. Semula aku memutuskan bertahan dan meneruskan laju motor, namun siraman air yang makin banyak membuatku akhirnya menyerah.
Aku menepikan motor dan berteduh di sebuah halte.
Alam memang tidak bisa ditebak…
Hujan turun makin deras, akupun menghubungi klienku, memberitahunya bahwa mungkin aku akan terlambat mengikuti meeting.
“Ok’s,” balasnya, “gw jg kejebak hujan di jalan. Nanti kita berkabar kembali.“
Saat terjebak hujan seperti ini hanya ada sedikit kegiatan yang bisa dilakukan yaitu merokok, ngobrol di grup, facebook-an, atau sekadar melamun.
Aku bukan perokok, bukan juga tipe manusia penggemar chatting. Dari tiga grup alumni yang kuikuti, aku selalu menjadi silent reader dan hanya hadir jika di-mention.
Facebook-an?
Aku mengembuskan napas.
Jujur saja, saat ini dunia maya bukanlah tempat yang enak untuk dikunjungi. Terlalu banyak perang opini di dalamnya, dan aku sedang tak ingin memasukkan opini-opini penuh puji dan caci-maki ke dalam kepalaku.
Jadi aku memilih menghabiskan waktu dengan melamun sembari menikmati konfigurasi yang dihasilkan guyuran air di atas aspal dipadu embusan angin.
Sedikit rahasia, jika kita mampu meleburkan diri dengan frekuensi air dan lingkungan sekitar saat itu, kita akan mendapatkan simfoni terindah, simfoni alam yang meresap ke dalam hati, menimbulkan rasa tenang sekaligus membangkitkan kenangan yang sudah tersimpan jauh di dasar hati.
Dan ingatanku kembali, jauh ke masa lalu.
(Catatan penulis : bagian di bawah ini akan lebih enak dibaca sembari menikmati lagu “Semua Tentang Kita” yang dibawakan oleh Peterpan. Selamat berimajinasi!)
* * *
“Aku selalu suka bau ini,” katamu sembari memejamkan mata menghirup wanginya tanah yang tersiram hujan – sore itu.
Aku hanya memandangmu, dari angle ini, dari sudut ini.
Aku selalu suka memandangmu dari samping seperti ini.
Kau selalu terlihat sangat cantik dari sisi ini.
Kita berdua lama terdiam, terbenam dalam pikiran masing-masing.
“Wangi ini… namanya petrikor,” kau akhirnya membuka mulut.
Aku tersenyum.
“Mungkin karena itu orangtuamu memberimu nama Petra,” lanjutku.
Kita berdua tertawa.
* * *
“Kau tahu?” ucapmu. “Aku baru saja jadian sama Igor.”
“Oh?” aku berharap kamu hanya bercanda. Aku berharap pendengaranku salah.
Tapi tidak.
Kau mengatakannya dengan raut wajah bahagia, wajah yang penuh cinta, dan aku merasakan sakit yang sangat menusuk.
“Petra… Igor…,” gumammu. “Coba kau ucapkan dengan cepat dan berulang-ulang.”
“Buat apa?” tanggapku dengan malas.
“Petra… Igor…,” lanjutmu. “Petra Igor… Petra Igor… Petraigor… Petraigor… Petraigor… Petrikor… Petrikor… Petrikor!”
Kau tersenyum manis, senyuman paling indah yang pernah kulihat.
Namun senyuman itu bukan untukku.
* * *
♫ Tinggalkan cerita tentang kita… ♫
Aku tersadar dari lamunanku dan memandang sekeliling. Rupanya sudah ada orang lain di halte ini, dan alunan nada itu berasal dari ponselnya.
“Ya? Hallo?” sapanya.
Ah, kenapa tiba-tiba aku mengingatmu sih?
* * *
“Sepertinya aku hamil,” bisikmu suatu pagi saat kita menanti bus di halte.
Aku tak bisa langsung menjawab, mendengar dirimu menyebut namanya saja sudah membuat rasa sakit itu kembali.
Kau memandangku.
Lama.
Cukup lama kau memandangku sehingga ketidakpedulianku padamu runtuh.
Aku menghela napas.
“Kenapa kau mengatakan itu padaku?” aku bertanya dengan rasa hati yang tak keruan. Semakin lama bersamamu membuatku sadar bahwa aku mencintaimu.
“Mungkin setelah ini dia akan menikahiku,” jawabmu. “Komitmen. Cuma itu yang aku mau.”
♫ Ada cerita tentang masa yang indah,
saat kita berduka, saat kita tertawa… ♫
Petra, tidakkah kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu?
Aku mencintaimu meski aku tahu ini akan sangat sulit…
* * *
Beberapa bulan kemudian bukan undangan pernikahan yang aku dapat darimu melainkan cerita bahwa ia – lelaki itu – mencampakkanmu dan pindah ke kota lain.
“Dia juga memberiku ini,” ujarmu membuka kacamata hitam memperlihatkan lebam di mata kirimu padaku.
Aku hanya merengkuhmu dalam diam. Memelukmu lembut.
Isak tangismu selanjutnya membuat airmataku menitik.
Petra, aku mencintaimu…
Adakah tempat untukku di hatimu?
Berapa kali aku harus menyatakan perasaanku padamu?
Mungkinkah kita bisa bersama?
* * *
“Berapa kali harus kukatakan padamu?” kau mengeluh. “Aku tak bisa menerima cintamu.”
Selalu…
Selalu seperti ini…
Tak peduli berapa kali aku menyatakan cintaku padamu, jawabanmu selalu sama.
♫ Teringat di saat kita tertawa bersama.
Ceritakan semua tentang kita… ♫
“Yah, aku tahu kau masih mengharapkannya,” ujarku getir, “mengharapan dia yang meninggalkanmu…”
“Bukan!” potongmu. “Bukan karena dia!”
Suasana menjadi hening.
Kita saling pandang dalam keheningan.
Kau dan aku.
“Kau tahu, kita tak mungkin bisa bersama.”
Kau memelukku erat.
“Sejujurnya, aku pun mencintaimu. Sangat mencintaimu…”
“Petra…” lirihku.
“…tapi kita berdua tahu ada satu hal yang membuatku masih ragu menerimamu.”
Aku menghela napas.
“Ya, aku tahu itu.”
Tanganku meraba tengkukmu, meraba liontin yang terpasang di lehermu, sebuah liontin yang memberitahu bahwa kita tidak satu keyakinan.
“Kita saling cinta, aku tahu itu,” ujarmu masih memelukku. “Tapi kelak, hal itu akan jadi masalah besar.”
Kau melepas pelukanmu.
“Jadi, sebelum kita kelak kita tersiksa oleh cinta yang tak bisa disatukan, lebih baik seperti ini.”
“Aku mengerti,” walau berat rasa hatiku mengatakannya. “Lebih baik tidak ada cinta antara kita.”
Kau tersenyum.
Getir.
* * *
Di mana kamu sekarang?
Apa kabarmu?
Hujan mulai reda, beberapa orang sudah meninggalkan halte dan melanjutkan perjalanan mereka, begitupun diriku.
Apa kamu masih mengingatku seperti aku mengingatmu?
Cinta…
-Jakarta, 27 September 2018-
4 pemikiran pada “Kutahu Kau Mencintaiku”
Selalu ada ‘sad’ ending… Entah kenapa.. Saya penyuka ‘rasa sakit’ di akhir cerita.
Begitu ya, Mas. Terima kasih kunjungannya 🙂
Sedih bacanya, tapi lebih baik begitu..
Kalo sudah seperti ini memang berat, Mbak. Hampir pasti jadi sesuatu yang tidak mungkin. Terima kasih kunjungannya 🙂