Lama baca: 4 menit
Bencana selalu meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya.
Tsunami yang melanda Anyer beberapa waktu lalu membuat saya teringat kesaksian seorang kolega yang berhasil selamat dari tsunami Aceh 2004 silam.
Sebut saja namanya J.
“Hari itu sebetulnya hari terakhir saya bertugas, Mas,” ujarnya mengawali pembicaraan. Ia adalah seorang juru kamera yang sudah seminggu bertugas di Aceh bersama reporter. “Hari itu sebetulnya hari kepulangan saya ke Jakarta.”
Ia ingat betul pagi itu sedang menyantap semangkuk bubur di depan kantor pemerintah daerah setempat yang lokasinya tidak jauh dari pantai.
“Waktu itu ada sekelompok ibu-ibu sedang senam di halaman (kantor pemda),” katanya.
Belum habis bubur yang disantapnya, ia mendengar orang-orang berteriak, “Ada ikan! Ada ikan!”
Saat itu air laut surut hingga jauh ke tengah, menyisakan kumpulan ikan menggelepar di pasir yang tadinya merupakan dasar pantai.
Banyak orang berlarian ke pantai memunguti ikan-ikan itu. J pun ikut sambil menenteng kameranya.
“Di situ pertama kalinya saya nginjak dasar laut,” akunya.
Ia menceritakan bahwa pantai dasar laut memiliki pola seperti lumpur yang bergaris-garis. Menurut bayangan saya mungkin seperti lumpur yang dilalui mobil, ada jejak ban yang tertinggal.
Meski melihat banyak orang yang bergerak memungut ikan hingga jauh ke tengah, J tidak berani melangkah lebih jauh lagi karena ia takut kejeblos. Sepatu boot yang ia kenakan pun sudah tenggelam di pasir hampir sebetis.
Saat itulah ia melihat sesuatu yang aneh.
Terjangan Gelombang
Jauh di tengah laut, ia melihat sebuah kapal yang timbul-tenggelam dipermainkan ombak.
Setelah beberapa lama, ia melihat tiang kapal tersebut hilang dari pandangan!
Refleks, ia berlari menjauhi pantai sambil tetap membawa kameranya.
Beberapa detik kemudian, ia mendengar teriakan panik orang-orang di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, J memanjat pohon terdekat yang ia temukan, mengikat tangannya dengan tali kamera, lalu melilitkan kamera dan talinya di dahan pohon tersebut.
Berikutnya J menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri salah satu musibah paling memilukan bagi Indonesia – bahkan dunia.
“Semuanya dalam hitungan detik, Mas,” katanya.
Menurut pengakuannya, air yang dibawa gelombang tsunami sama sekali tidak bersuara. Meski tidak bersuara, gerakannya sangat cepat dan kuat. Saking kuatnya, perenang ulung sekalipun tidak akan tahan.
“Saya rekam semuanya,” kata J, “sampai LCD kamera saya patah.”
Jatuhnya Korban Jiwa
Mata J berkaca saat harus menceritakan kembali detail tsunami Aceh 2004 silam. Peristiwa itu pasti sangat traumatis baginya.
Ia melanjutkan ceritanya.
“Saya melihat banyak orang mati, mengambang terbawa arus.”
Menurut kesaksian J, sebetulnya korban jiwa jatuh bukan karena tenggelam.
“Waktu itu air juga membawa material lain seperti pagar besi, kaca, dan potongan kayu,” katanya. “Orang banyak mati karena itu (material lain).”
J menyaksikan sendiri ada seorang bapak yang memanjat pohon tempatnya berlindung, namun si bapak tak mampu bertahan. Ia jatuh.
“Nggak lama kemudian bapak itu mengejang, rupanya perutnya tersayat benda logam yang terbawa arus,” tutur J. “Bapak itu akhirnya meninggal dan ngambang terbawa arus.”
J menambahkan, ada juga korban yang kepalanya terbentur mobil.
Yang paling traumatis bagi J adalah ada seorang ibu yang memegangi kakinya, namun ibu itu juga tak mampu bertahan dan jatuh.
“Di situ saya menangis sekuat-kuatnya, benar-benar nangis. Saya rasa itu pertama kalinya saya menangis sebagai orang dewasa,” tutupnya.
Speechless.
Trauma yang Sulit Hilang
Meski sudah 14 tahun berlalu, saya bisa melihat J berusaha keras menjaga emosinya. Beberapa kali ia menghentikan ceritanya dan menarik napas panjang sebelum melanjutkan kesaksiannya.
Matanya juga berkaca-kaca.
Karena itu saya tersadar.
Jika seorang J yang tidak kehilangan sanak saudara dalam musibah itu bisa sebegitu traumanya, maka sebesar/sedalam apa trauma yang dirasakan mereka yang kehilangan keluarganya?
Saya juga teringat pernyataan dokter Benny Octavianus saat menjadi pembicara di sebuah acara. Saat itu dokter Benny ditanya kenapa untuk setiap penanganan bencana harus selalu dilakukan tim dari luar, bukan tim setempat.
“Mereka (medik, TNI, relawan, dll) juga manusia. Bisa jadi ada keluarganya yang jadi korban dalam bencana tersebut, bahkan merekapun sejatinya adalah korban bencana. Ada kemungkinan mereka juga kalut memikirkan keluarganya. Karena itulah untuk penanganan bencana harus selalu dilakukan tim dari luar.”
-Benny Octavianus-
Adapun untuk kolega saya J, rekan reporternya termasuk korban meninggal dalam tsunami Aceh 2004.
Kini, setiap mendapat penugasan ke Aceh, J selalu menyempatkan diri mengunjungi kuburan massal korban tsunami Aceh dan berdoa di sana.
Lewat tulisan inipun, saya hanya mampu mengirim doa bagi mereka yang menjadi korban bencana, di manapun, kapanpun.
Catatan:
Kisah ini merupakan pengakuan J yang ia ceritakan pada saya. Demi kerahasiaan, saya tidak bisa mencantumkan nama ybs, juga ada beberapa bagian dalam kisahnya yang tidak bisa saya bagikan pada pembaca sekalian.