Lama baca: 6 menit
Penglihatan itu kembali.
Aku terbaring dengan peralatan medis di sekujur tubuhku.
Telingaku sayup menangkap suara mesin EKG dan napasku sendiri yang aneh dan berat. Aku menggerakkan tanganku, mencari tahu kenapa napasku seperti itu.
Selang oksigen!
Aku dibantu alat bantu pernapasan!
Kenapa? Apa yang terjadi pada diriku?
Ekor mataku menangkap kehadiran sosok-sosok yang kukenal.
Lyra!
Itu Lyra!
Lyra – istriku – sedang berbicara dengan seorang dokter. Wajahnya dipenuhi kesedihan mendalam. Matanya sembab, sepertinya ia habis menangis.
Aku tak tahu apa persisnya yang mereka bicarakan, namun sesekali aku menangkap beberapa kata,
“…upaya maksimal… asuransi… harapan baru… proses… bersabar…”
Setelah itu, Lyra menghampiriku dan menatapku seolah berkata,
“Vega sayangku, maafkan aku…”
Lalu semuanya gelap.
* * *
”Sayangku, bangun. Hari sudah pagi…”
Bisikan lembut itu membuatku membuka mata.
Tampak wajah Lyra yang dekat denganku, menatapku penuh cinta sambil tersenyum lembut.
“Tidurmu nyenyak sekali,” ujarnya, “Aku sebenarnya tak tega membangunkanmu, tapi kau ada janji penting dengan klienmu ‘kan?”
Aku mengangguk, mengumpulkan segenap kesadaranku, dan bangkit dari tempat tidur.
“Kau mau pergi?” tanyaku melihat penampilan Lyra saat itu.
“Jadwal kunjungan rutin,” jawabnya. Lyra memang aktif di sebuah organisasi nirlaba yang kegiatannya mengunjungi orang-orang berusia lanjut yang hidup seorang diri.
Diam-diam aku memperhatikan Lyra. Di usianya yang 27 tahun, ia masih terlihat cantik meski beberapa kerutan halus sudah mulai muncul.
Kilasan-kilasan kenangan menyeruak benakku, tanpa sadar aku tersenyum.
“Hei, Sayang.”
Aku tersentak.
“Apa yang kau lamunkan?” goda Lyra, “Sampai senyum-senyum seperti itu.”
“Kau cantik,” balasku. “Aku tadi hanya teringat masa-masa pertemuan kita dulu.”
“Hanya?” cecarnya. “Hanya ‘hanya’?”
Kami berdua tertawa bersama.
* * *
Telepon di siang hari itu terdengar bagai petir di telingaku.
Tanpa sadar aku menjatuhkan ponselku.
“Pak Vega?” tanya klienku. “Bapak tidak apa-apa? Bapak baik-baik saja?”
Aku hanya terus terdiam.
Tubuhku bergetar.
Lyra! Lyraku!
Ia pergi meninggalkanku!
Telepon dari kepolisian tadi mengabarkan bahwa istriku mengalami kecelakaan akibat gangguan pada sistem komputer lalu lintas.
“Dengan sangat menyesal kami harus memberitahu kabar duka. Istri bapak sudah meninggal dunia–”
Aku lemas!
Lyra!
* * *
Dua hari setelah pemakaman Lyra, aku mendapat telepon dari InQLife sebuah perusahaan asuransi. Mereka minta janji temu sesegera mungkin.
Sore harinya, seorang agen InQLife datang menemuiku ditemani dua orang lain. Dilihat dari penampilannya, aku menduga salah seorang dari mereka mengurus aspek legal sementara yang satunya terlihat seperti seorang ahli medis.
“Ibu Lyra adalah klien kami di InQLife,” agen tersebut membuka pembicaraan. Ryan namanya.
“Begitu,” ujarku. “Lalu, ada yang bisa saya bantu?”
“Sebelumnya mohon maaf, apa Bapak tahu program asuransi yang diikuti Ibu Lyra?” Ryan bertanya balik.
Aku menggeleng.
“Baik, Pak. Ibu Lyra mengikuti program Infinite Life yang artinya memberi kesempatan pada beliau untuk menjalani hidup kedua,” terang Ryan.
“Hidup kedua?” aku tak mengerti. “Maksudnya?”
Ketiga orang itu tersenyum. Senyum yang seolah memberi harapan padaku,
“Program asuransi yang beliau ikuti memberi kesempatan pada kami untuk mengembalikan Ibu Lyra pada orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Ibu Lyra bisa kembali menjalani hidupnya seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.”
Aku terhenyak.
“Tapi… bagaimana bisa?”
“InQLife bekerjasama dengan satu-satunya perusahaan riset dan medis terkemuka yang berhasil mengembangkan teknik kelahiran kembali dari seseorang yang sudah meninggal,” kini si ahli medis berbicara.
“Kelahiran kembali…,” kepalaku terasa pening. “Maksudnya… kloning?”
“Secara teknis, ya,” kali ini giliran si ahli hukum yang menjelaskan. “Namun secara etika dan hukum, kami hanya diperbolehkan melakukan hal tersebut apabila klien kami sudah dinyatakan meninggal. Itulah sebabnya kami lebih suka menyebutnya sebagai ‘Kehidupan Kedua’ atau ‘Infinite Life’. Tidak ada dua orang yang hidup di saat bersamaan. Prosedur kami melarang penggunaan teknik tersebut pada klien yang masih hidup.”
“Untuk melakukannya, kami hanya membutuhkan sampel DNA dari bank tali pusat milik klien kami dan tulang ekor yang bersangkutan,” ujar si ahli medis.
“Serta tentu saja persetujuan dari Pak Vega sebagai pihak yang namanya tercantum dalam perjanjian antara kami dengan Ibu Lyra,” pungkas si ahli hukum.
“Untuk jelasnya, kami akan menyerahkan berkas-berkas ini untuk Bapak pelajari,” jelas Ryan dari InQLife tersebut sembari menyerahkan sebuah kartu memori. “Jika Bapak sudah siap, mohon segera hubungi kami kembali.”
Aku tercenung.
* * *
Sekarang saatnya!
Hatiku berdebar-debar.
Seperti apa dia?
Apa dia masih sama seperti dulu?
Setelah menanti satu tahun sejak hari pernyataan persetujuanku, beberapa hari lalu aku mendapat kabar bahwa, “Ibu Lyra sudah bisa pulang ke rumah.”
Aku pun menyiapkan kendaraanku.
Kendaraan dengan sistem pengendalian otomatis itu membawaku ke sebuah fasilitas medis jauh di luar kota.
Setelah menandatangani berbagai berkas dan urusan administrasi lainnya, aku dibawa ke sebuah ruangan.
“Silakan tunggu di sini, Pak,” ujar seorang staf. “Saya akan menjemput istri Bapak.”
Hatiku semakin kencang berdebar.
Lyra!
Dia akan kembali padaku.
Meski ruangan itu sangat nyaman, aku tak bisa menahan kegelisahanku.
Setelah beberapa menit penantian yang terasa berabad lamanya, pintu ruangan berdesir halus dan terbuka.
Ya Tuhan–
Aku tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.
“L–Lyra?” ucapku terbata.
Ia benar-benar Lyra!
Wajahnya, tubuhnya, matanya, rambutnya.
Ia benar-benar Lyra!
“Sayang?” ucap Lyra. Ia terlihat bingung.
Aku menghambur memeluknya. Tak terasa airmataku menetes. Lyra pun balas memelukku.
“Aku kangen kamu, Sayang,” ujarnya. “Aku tak tahu berapa lama dan kenapa aku dirawat di sini. Mereka hanya mengatakan bahwa aku menjalani perawatan yang tidak bisa ditemui siapapun. Sayang, aku sangat ingin menemuimu.”
“Kamu sudah sembuh,” ujarku. “Kita pulang sekarang. Kita kembali bersama.”
Ia benar-benar Lyra!
Lyraku!
* * *
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun.
Tak terasa sudah tiga tahun aku menjalani kehidupanku bersama Lyra yang terlahir kembali melalui proses kloning.
Aku bahagia.
Tanpa sepengetahuannya, aku mendaftarkan diri kami berdua di InQLife untuk program yang sama. Aku tak ingin kehilangannya, dan mungkin dia pun tak ingin kehilanganku.
Semua berjalan begitu baik dan sempurna sampai pada suatu malam aku mendengarnya menangis terisak-isak.
“Sayang, kamu kenapa?” tanyaku.
Namun ia tak menjawab, hanya memelukku kemudian kembali tidur.
Sejak saat itu aku sering mendengarnya terbangun dari tidurnya kemudian menangis. Kadang-kadang ia keluar dari kamar tidur dan menangis di ruangan lain.
Seperti malam ini. Aku mendapatinya sedang menangis di ruang tamu.
“Sayang,” panggilku.
Ia buru-buru menghapus airmatanya dan mencoba tersenyum padaku.
“Hai, Sayang,” ujarnya.
Aku menuangkan segelas air dan memberikannya pada Lyra.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Apanya yang kenapa?” ia balik bertanya.
“Akhir-akhir ini kamu sering menangis di tengah malam,” ujarku. “Kamu mimpi buruk?”
Mendadak Lyra memelukku.
“Aku… aku takut, Vega. Aku takut!”
“Takut? Takut kenapa?” aku balas memeluknya.
“Akhir-akhir ini aku sering bermimpi,” lirihnya. “Mimpi yang sangat menakutkan. Aku mimpi ada di dalam mobil untuk melakukan kunjungan rutin. Tiba-tiba alarm berbunyi, sepertinya ada gangguan pada sistem komputer. Aku berusaha menon-aktifkan pengendalian otomatis dan berpindah ke mode manual, tapi terlambat. Dari samping, sebuah mobil menghantam mobilku. Aku terlempar dan saat itu mobil lain menghantamku lagi.”
Aku tercekat!
Mimpi itu…
Itu ingatannya saat ia mengalami kecelakaan dan meninggal!
“Kali lain, aku bermimpi berada di sebuah pemakaman,” tubuhnya bergetar. “Kelihatannya itu prosesi pemakamanku karena aku merasa dibaringkan dalam sebuah lubang. Aku juga melihatmu, melihat tatapan sedihmu yang melepasku. Lalu aku melihat bergumpal-gumpal tanah menutupi lubang tempat aku dibaringkan. Setelah itu semuanya gelap, Vega. Gelap.”
Lyra kembali menangis.
“Sayang, aku takut jika semuanya jadi kenyataan. Aku takut! Aku tak ingin meninggalkanmu!”
Saat itu aku ingin memeluknya.
Tapi tubuhku terasa lemas tak bertenaga.
Mimpi tentang pemakaman yang barusan ia ceritakan membuatku teringat bahwa aku pun beberapa kali memimpikan hal yang sama. Dalam mimpi pemakamanku, aku juga melihatnya menangis.
Tubuhku bergetar.
Apa aku juga sebenarnya sudah mati?
Sejak itu kondisi Lyra makin memburuk. Hidupnya kini tak bisa lepas dari obat penenang.
-Jakarta, 10 November 2018-
Baca Juga Cerita Sains Fiksi Lainnya: Pesan dari Masa Lalu
CATATAN TAMBAHAN:
Tahun 2049, sekelompok ilmuwan asal negara adidaya Israel lewat program yang dinamakan “Project Uzeir” berhasil mengembangkan metode kloning dengan menggunakan tulang ekor sebagai titik awal “perakitan kembali”. Dipadukan dengan sel punca yang berasal dari darah tali pusat, proses kelahiran kembali seorang manusia bisa memakan waktu lebih cepat dengan tingkat keberhasilan mendekati sempurna. Manusia kloning yang dihasilkan dari metode ini memiliki bentuk fisik layaknya berusia 20-40 tahun.
“Metode kelahiran kembali ini membawa harapan baru bagi hidup yang lebih berkualitas,” tandas Dr. Abram Morgenstern ketua tim Project Uzeir. “Kita tak akan pernah takut menjadi tua, bahkan di masa depan kita tak akan mengenal yang namanya ‘tua’. Kita akan selalu hidup di masa-masa emas dimana kita mampu meraih segala rencana untuk hidup yang lebih baik.”
Namun begitu beredar rumor bahwa Dr. Morgenstern menyebut adanya efek samping yang tidak pernah dipublikasikan. Efek samping dari metode ini adalah manusia kloning akan bermimpi tentang kematian yang pernah dialaminya.
Cerita ini terjadi pada tahun 2085.
Video: Leave Out All The Rest – Linkin Park