Lama baca: 7 menit
Tempat ini…
Angel termangu sejenak, ada sesuatu yang menahan langkahnya untuk keluar dari dalam mobil yang membawanya.
“Angel, kita sudah sampai,” Tari – sahabatnya – memecah kesunyian. “Teman-teman kita di dalam sudah kangen sama kamu.”
“He’eh, sutra dua tawares, Nek,” sambung Rian sahabatnya yang selalu merasa salah dilahirkan sebagai seorang pria.
Sudah dua tahun ya. Sudah dua tahun aku meninggalkan kehidupan yang seperti ini…
Angel tertunduk. Tangannya mengusap sebuah cincin yang tersemat di jari manis kirinya.
“Heh! Kamu masih make cincin dari laki-laki itu?!” seorang lagi kawannya – Tania – bersuara, kali ini dengan nada keras.
Sekejap kemudian cincin di jemari Angel berpindah ke tangan Tania, seberapa keras pun Angel berusaha menahannya.
“Tania, please,” Angel mengiba sembari berusaha merebut kembali cincin tersebut.
Namun usahanya sia-sia, Rian mencegah upaya Angel mengambil kembali cincin tersebut dari Tania.
“Hei! Hei! Calm gals!” Tari yang memegang kemudi berteriak. “Kita ke sini untuk bersenang-senang. Kita ke sini biar sahabat kita Angel back to herself!”
Suasana dalam city car tersebut hening. Tari menoleh pada Tania,
“Give her ring back, please.”
Tanpa bersuara, Tania mengembalikan cincin tersebut pada Angel yang bermaksud mengenakannya kembali namun keburu dicegah oleh Tari,
“Angel, no. Sementara simpan dulu cincin itu di tasmu.”
“Tapi-” Angel mencoba protes.
“Please,” Tari memotong ucapan Angel. “Kita semua begini demi kamu. Demi kebaikanmu.”
Tak ada pilihan, Angel pun menuruti permintaan Tari.
“Sekarang hapus wajah murammu,” sambung Tari mencoba tersenyum. “Kita nggak mau kamu terus-terusan bersedih seperti itu.”
Beberapa saat kemudian, dari dalam city car tersebut Angel bersama teman-temannya memasuki tempat tersebut – sebuah klub malam.
“Welcome back, Angeeel!” seru Rian. “Let’s get party!”
***
Di dalam klub, Angel disambut meriah meski beberapa orang tak bisa menyembunyikan keheranannya atas perubahan sikap dan penampilan Angel.
“Hei! Ini bukan Angel!”
“Angel biasanya seksi dan hot! Tapi lihat sekarang!”
Mendapat komentar itu, Angel hanya tersenyum masam. Ya, Angel dulu terbiasa mengenakan celana pendek atau rok yang panjangnya tak pernah lebih dari dua puluh sentimeter dari pinggang rampingnya – memperlihatkan paha mulus dan kaki jenjangnya yang menimbulkan fantasi liar bagi pria yang memandangnya. Bagian atas pakaiannya pun sama saja, selalu ada bagian yang terbuka memperlihatkan betapa putih kulit si pemiliknya dan betapa menantangnya tubuh indah tersebut.
Tapi itu dulu.
Saat ini gadis tersebut datang dengan celana jeans yang menutupi seluruh kakinya, sementara untuk bagian atasnya ia mengenakan sebuah sweater lengan panjang.
“Angel! Kamu kesurupan?!”
“You’re weird, Angel!”
“Old school fashion!”
Tommy – yang beberapa kali menjawab tantangan Angel dengan membawa gadis itu ke apartemennya – menggamit lengan Tania dan membawanya ke satu sudut.
“Tania! Bukan Angel seperti itu yang kuharapkan,” desisnya. “Kenapa dia jadi begitu?”
“Si brengsek itu pasti sudah mencuci otaknya,” balas Tania. “Butuh waktu untuk mengembalikan Angel seperti dulu.”
“Damn!” Tommy nampak kesal. “Padahal aku sudah menunggu lama dan menyiapkan kejutan khusus untuknya.”
Tania tersenyum nakal, ia paham maksud laki-laki maskulin yang ada di hadapannya saat ini. Jemari lentiknya menjelajahi seluruh tubuh Tommy,
“Kalau begitu,” desahnya, “manfaatkan saja dulu apa yang ada di hadapanmu.”
Kedua insan berlainan jenis itu kemudian menghilang ke arah toilet.
***
Angel duduk di sudut ruangan. Saat ini tak ada minat baginya untuk kembali ke dunia yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya.
Bahkan gelas berisi air mineral pesanannya pun sama sekali tidak ia sentuh.
“Raja…” bisiknya.
Masih jelas terbayang di ingatannya peristiwa tragis yang menimpa Raja – lelaki yang sudah berjanji akan menikahinya. Lelaki yang membuat Angel sanggup meninggalkan teman-temannya, meninggalkan dunia malamnya, dan lelaki yang memaafkan segala petualangan cintanya di masa lalu.
Masih jelas tergambar di benaknya sosok Raja yang dicintainya tersungkur akibat dua butir peluru yang menembus tubuh lelaki tersebut.
Tanpa sadar, dua butir air bening mengalir di pipi Angel.
“Angel,” panggil Tari yang entah sejak kapan sudah duduk di dekatnya.
Angel buru-buru menghapus airmatanya dan mencoba tersenyum.
“Aku tahu kamu masih terpukul dengan peristiwa itu,” lanjut Tari. “Sejujurnya, aku pun tidak setuju tindakan para polisi itu menembak Raja di muka umum – apalagi di hadapanmu – meski atas nama hukum.”
Perlahan, Tari menggenggam tangan Angel – hangat – dan memberikan penguatan.
“Tapi percayalah, aku yakin selalu ada kebaikan dalam kepahitan.”
“Aku…,” Angel terbata, “aku tidak menemukan adanya kebaikan dari kematian Raja. Yang ada malah sekarang aku kembali ke sini, ke dunia yang telah kutinggalkan semenjak mengenal Raja.”
Angel memandang Tari dengan pandangan memohon,
“Di sini sudah bukan tempatku lagi, Tari. Please.”
Tari tersenyum tipis.
“Aku mengerti. Setelah malam ini, aku janji tak akan memaksamu kembali ke sini.”
“Terima kasih,” genangan air di mata Angel kembali mengembang. “Kamu memang sahabatku yang paling baik.”
“Bagaimanapun kamu, kamu tetap sahabatku,” tukas Tari. “Jujur, aku pernah iri sama kamu. Kamu punya kemampuan meninggalkan dunia seperti ini, sementara aku sendiri belum bisa. Aku iri.”
“Suatu saat kamu akan menemukan jalan untuk itu,” balas Angel. “Kamu pasti bisa.”
Kedua sahabat itu lalu berpelukan.
Tepat pada saat itu layar besar di belakang bartender menampilkan bumper Breaking News disusul judul besar-besar memenuhi layar;
“AKHIR PETUALANGAN RAJA SUJIWO, SANG BOS MAFIA”
“Raja…,” desis Angel. “Tari, tolong minta bartender untuk mengeraskan suara TV itu.”
“Tapi…,” Tari nampak ragu. “Apa nggak apa-apa buatmu? Aku nggak mau lukamu terbuka lagi.”
“Aku nggak apa-apa. Cepat! Minta bartender mengeraskan suara TV!”
Tari segera berlari menghampiri bartender diikuti pandangan heran Tania yang baru saja keluar dari toilet sembari membetulkan pakaiannya yang berantakan di sana-sini.
“Ada apa?” tanya Tania pada Rian.
“Berita tentang Raja,” jawab Rian sambil memandang Tania kemudian mengibaskan tangannya di depan hidung sambil membentuk ekspresi wajah seperti mencibir, “Lu bau laki. Tommy ya?” tebaknya.
Tania tertawa sementara Angel memusatkan perhatiannya pada layar besar tersebut.
“Pemirsa, polisi berhasil menangkap Raja Sujiwo di tempat persembunyiannya setelah terjadi baku tembak dengan pengawal pribadi bos mafia tersebut.”
Kamera lantas menyorot serombongan polisi yang menangkap seorang pria perlente berusia sekitar 45 tahun dengan tangan diborgol. Bisik-bisik dan ekspresi keheranan mulai muncul antara Rian dan Tania. Sebuah kejanggalan mulai terasa. Tari pun tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya, ia kemudian menoleh pada Angel.
“Aku sudah tahu,” didengarnya sahabatnya itu hanya bergumam. “Aku sudah tahu.”
Seorang reporter maju mewawancarai kepala polisi yang tersenyum sumringah karena operasi yang dilakukannya sukses besar.
“Aku sudah tahu,” Angel berkali-kali menggumamkan kalimat tersebut.
“Lalu, Pak,” seorang reporter lain menyela, “Bagaimana dengan penembakan hingga tewas terhadap Raja Sujiwo yang beberapa waktu lalu ramai diberitakan? Jika benar yang ditangkap kali ini adalah Raja Sujiwo yang memang merupakan target kepolisian, bagaimana dengan Raja Sujiwo yang kemarin?”
“Aku sudah tahu,” Angel masih menggumamkan kalimat tersebut. “Aku sudah tahu, Raja Sujiwa.”
(Catatan penulis : agar memperkuat suasana, untuk adegan di bawah ini saya menyertakan lagu Korea “Just The Two Of Us” yang sangat menyentuh dan dibawakan oleh duo Davichi. Selamat berimajinasi!)
Ingatan Angel kembali ke masa saat ia dan Raja selesai memesan satu pasang cincin untuk pernikahan mereka.
Di tengah kebahagiaan dan percakapan tentang impian masa depan, mendadak beberapa orang berpakaian preman yang mengaku sebagai polisi mengerubungi mereka dan merangkul Raja.
“Raja Sujiwo?” tanya salah seorang dari mereka. “Kami dari kepolisian.”
“Sujiwo atau Sujiwa?” tanya Raja.
“Apa bedanya?!” bentak salah seorang polisi.
“Ke mana anak buahmu?!” bentak polisi yang lain.
“Apa maksudnya ini?!” Raja terkejut. “Kurasa kalian salah orang.”
“Jangan melawan, Raja! Kami bertindak atas nama hukum!”
“Sudah kubilang kalian salah orang!” bentak Raja, melawan orang-orang yang berusaha menangkapnya
Tubuh Angel rasanya tak bertenaga melihat apa yang terjadi di depannya, namun ia – yang diabaikan keberadaannya karena polisi lebih sibuk mengurus Raja – berlari dan berteriak meminta tolong. Salah seorang polisi yang melihat itu mencabut pistol dan mengarahkannya pada Angel yang tak sadar dirinya dalam bahaya.
“JANGAN!” seru Raja yang entah mendapat kekuatan dari mana bisa melepaskan diri dari polisi yang merangkulnya.
Refleks, Raja berdiri di depan pistol sang polisi yang tepat pada saat itu sudah ditarik pelatuknya.
Dua letusan senjata api pun terdengar.
DOR! DOR!!
***
Tari, Tania, dan Rian kini memandang Angel dengan amukan perasaan yang tak bisa digambarkan.
Angel terlihat tegar, namun jelas pundak gadis itu mulai berguncang.
“Dengan sangat menyesal kami harus memberitahu adanya kesalahan prosedur oleh anggota kami di lapangan yang menyebabkan tewasnya korban bernama Raja Sujiwa. Anggota kami mengaku bahwa Raja Sujiwa tidak bersikap kooperatif selama proses penangkapan sehingga terjadilah insiden yang sangat kami sesali tersebut,” tegas kepala polisi.
“Tidak kooperatif? Proses penangkapan? Bukankah insiden kemarin menunjukkan bahwa polisi salah tangkap – bahkan sampai menyebabkan tewasnya korban tak bersalah? Lalu apa yang akan Bapak dan kepolisian lakukan?” cecar reporter yang lain.
Tari, Tania, dan Rian saling pandang, mereka sudah tak menyimak lagi isi Breaking News tersebut.
Untuk sejenak, keheningan menyelimuti ruangan tersebut.
“Aku sudah tahu, Raja. Aku sudah tahu, kamu selalu menjadi yang terbaik. Aku tahu bahwa apa yang mereka tuduhkan padamu tidak benar. Cintaku untukmu selamanya, bahkan seandainya benar tuduhan mereka padamu, aku akan tetap mencintaimu. Kamu tetap Rajaku, seperti apapun dirimu…”
Gadis itu membuka tasnya mencari-cari cincin yang tadi hampir saja dibuang oleh Tania.
Dengan tangan bergetar, dikenakannya kembali cincin indah itu yang sekarang berpindah ke jari manis kanannya.
Bulir-bulir airmata jatuh dari pipi gadis tersebut.
“Angel…,” perlahan Tari mendekati sahabatnya itu dan memeluknya. “Maafkan aku. Maafkan kami. Aku…, kami ikut berduka untuk Raja.”
Angel, gadis yang terluka untuk kedua kalinya itu membalas pelukan Tari dan mulai terisak.
“Raja, Tari. Raja. Rajaku…”
Seiring pelukannya yang makin kuat, begitu pula dengan isakan Angel yang semakin lama berubah menjadi tangisan pilu yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
-Jakarta, 01 Oktober 2022-
Catatan penulis:
- Cerita ini pertama kali ditulis tahun 2015 lalu di-port ke Kompasiana.