Lama baca: 7 menit
Suara itu terdengar lagi, memecah kesunyian malam.
“Dear, itu bayi siapa sih tengah malam gini nangis?” tanyaku pada Maya, wanita yang sudah 6 tahun kunikahi.
Namaku Sultan, seorang pengusaha muda berusia 39 tahun.
Mendengar pertanyaanku barusan, Maya yang masih asyik dengan laptopnya mengerutkan kening.
“Bayi? I’m afraid you’re too tired, honey. Nggak ada bayi di sini.”
“I’m not deaf, dear,” bantahku. “Aku denger suara bayi di sekitar sini.”
Maya tertawa kecil kemudian menutup laptopnya dan menghampiriku.
“Apa itu kode buatku?” tanyanya menggoda. Tangannya melingkari leherku.
“Hmm… actually not,” jawabku sambil menatapnya. “Aku yakin sudah beberapa malam ini denger suara bayi. Kadang sepertinya deket banget, kadang jauh.”
“Ya sudah, aku yakin kamu kecapean. Besok kita temui dokter Suwasono, ya?”
“Okay.”
Sayup aku mendengar lagi tangisan itu diselingi senandung yang dilantunkan seorang wanita.
Rasanya aku kenal suara itu.
Siapa?
***
“Sepertinya Pak Sultan dalam kondisi prima,” tegas dokter Suwasono seraya membaca kembali hasil tes labku.
“Tapi katanya dia sering denger suara bayi nangis, Dok,” tukas Maya. “Padahal saya sendiri nggak denger apa-apa.”
Dokter Suwasono yang berusia sekitar 67 tahun itu memandangku.
“Nanti saya coba konsultasikan dengan kolega saya, mungkin dia lebih mengerti soal ini. Sementara itu…” ia menuliskan sesuatu di secarik kertas dan memberikannya padaku, “resep ini mungkin bisa membantu seandainya pendengaran itu dirasa mengganggu.”
Aku membaca resep yang ditulis dokter tersebut untukku.
Obat penenang?
Seakan mengerti kebingunganku, dokter Suwasono melanjutkan kalimatnya,
“Hanya untuk berjaga-jaga seandainya Pak Sultan butuh istirahat.”
***
“Pak Ali, bilang ke Sarif untuk siapkan mobil. Setengah jam lagi saya turun,” perintahku melalui telepon pada petugas sekuriti.
Aku bergegas menuju toilet khusus di ruanganku, menyiapkan diri untuk sebuah janji nanti malam.
Sore tadi seorang artis pendatang baru yang minggu lalu kukenal di sebuah klub menelepon, menanyakan apakah jadwalku free malam ini karena dia ingin mengajakku bersenang-senang.
Yah lumayanlah.
Kebetulan aku butuh perempuan lain setelah kejadian itu.
Saat itu jam 8 malam.
Usai membersihkan wajah dan menyisir rambut, sayup aku mendengar lagi tangisan itu, di sini, di ruang kerjaku.
Aku tercekat!
Tidak mungkin!
Mana ada bayi di sini?!
Aku menajamkan pendengaranku mencari sumber suara.
Tangisan bayi yang awalnya sayup kini makin jelas dan jelas.
Aku tersentak!
Suara itu kini terdengar sangat jelas, bahkan sepertinya ada di toilet ini.
Mendadak bulu kudukku berdiri, ada hawa dingin yang menyergap di ruangan itu.
Tangisan bayi itu semakin jelas terdengar memenuhi toilet yang kecil.
Ini tidak benar!
Ada sesuatu yang salah!
Aku mengumpulkan segenap keberanian.
“Hei!” seruku. “Jangan ganggu aku! Aku salah apa sama kamu?!”
Entah karena teriakanku barusan, tangisan itu mendadak berhenti. Aku memandang berkeliling dengan liar.
Tidak ada apa-apa.
Hening. Hanya terdengar gemericik air dari keran yang masih mengalir.
Pandanganku tertumbuk pada cermin di toilet ini, namun aku hanya melihat bayanganku di sana.
Sedetik, dua detik, hingga satu menit berlalu, tetap tidak ada apa-apa.
Aku menghela napas. Lega.
Kubasuh kembali wajahku sambil mencoba melupakan kejadian tadi.
“Sultan…”
Aku terlompat!
Terdengar satu bisikan yang sangat jelas di telingaku seolah pemilik suara itu berada tepat di sampingku.
Namun yang lebih menakutkan lagi, aku mengenal suara itu.
Adeline!
***
18 bulan lalu…
“Adeline,” gadis itu mengulurkan tangannya padaku. Seorang gadis dengan wajah campuran Indo-Eropa.
“Sultan,” aku membalas uluran tangannya.
Suasana klub malam itu sangat ramai. Freya yang mengenalkanku pada Adeline tertawa renyah.
“Nah, Sultan. Gorgeous, right?”
Aku memeluk Freya dan menciuminya.
“Only for tonight, kita akan melakukannya bertiga.”
“C’mon, Sultan,” Freya menepisku halus. “Tiga hari lagi aku akan menikah. Please forget about us, okay?”
“If you said so,” aku pun menggamit lengan Adeline. “Bye, Freya.”
***
10 bulan lalu…
“Nggak mungkin!” sergahku. “Ini pasti salah!”
“Nggak ada yang salah,” Adeline menjawab dingin. “Bayi yang ada di perutku ini memang anakmu.”
“Kamu sengaja!” teriakku. “Rupanya kamu sudah merencanakan ini!”
Adeline hanya mendengus.
***
6 bulan lalu…
“Kita sudah sering membicarakan ini, Adeline. Aku nggak mungkin melakukannya. Aku nggak mungkin menikahimu.”
“Begitukah?” Adeline mengambil ponselnya dan menyodorkannya padaku. “Sultan, kamu lihat baik-baik semua foto dan video yang ada di situ.”
Tubuhku bergetar menahan marah. Akupun membanting ponsel Adeline, namun ia hanya tertawa.
“Percuma kamu lakukan itu, Sultan. Asal kamu tau, aku sudah buat salinannya.”
Adeline menatapku penuh kemenangan.
“Kamu tinggal menuruti permintaanku, and everything will be okay, Sultan. Everybody happy!”
Aku menggeram.
***
3 bulan lalu…
Seseorang bernama Ryan memperlihatkan padaku foto dan video yang sama seperti yang tersimpan di ponsel Adeline. Lelaki tinggi kurus itu mengaku hanya dia yang diberi wewenang oleh Adeline untuk membocorkan rahasia itu ke publik seandainya terjadi apa-apa pada Adeline.
Aku tersenyum sinis.
Orang kepercayaan ya?
Adeline, malang sekali. Orang kepercayaanmu akan mengkhianatimu.
“Sebutkan harga yang Anda minta, Saudara Ryan.”
Ryan menulis sebaris angka di secarik kertas.
Saat melihat angka yang dia sodorkan, aku memaki dalam hati, namun aku tetap menampakkan senyuman.
“Kapan butuhnya?”
“Semakin cepat semakin baik, bukan?” Ryan tampak acuh tak acuh dengan laptopnya. “Saya takut semakin lama menahan akun ini, akan ada orang yang berani membayar lebih tinggi, dan itu tentunya mimpi buruk bagi Anda, Tuan Sultan.”
“Oke, bagaimana jika saya transfer sekarang?”
Ryan tertawa dan mengangkat kedua tangannya tanda setuju.
Tak sampai 15 menit, username berikut password akun penyimpanan foto dan video mesraku dengan Adeline sudah berpindah tangan, sementara lelaki tinggi kurus di hadapanku ini mendapatkan apa yang ia inginkan.
***
2 bulan lalu…
“Kenapa kamu yang ngantar?” Adeline merintih memegangi perutnya. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit untuk persiapan kelahiran.
Aku yang duduk di belakang kemudi hanya diam.
“Aku sama sekali nggak percaya kamu,” lanjutnya sambil sesekali mengerang.
Melihat kondisinya yang seperti itu, terlintas rasa iba yang menyeruak.
Aku teringat saat mengantar Maya ke Rumah Sakit sewaktu melahirkan anak pertama kami, kondisinya persis seperti Adeline sekarang ini.
Rasanya aku ingin membatalkan rencana jahat yang sudah kususun beberapa minggu sebelumnya.
Tapi aku sudah tidak bisa mundur!
Kamu yang memulai semua ini, Adeline…
***
1 bulan lalu…
Rencana yang kususun berjalan sempurna! Polisi menemukan bangkai mobilku di dasar jurang dalam keadaan hancur.
Dalam perjalanan bisnisku seorang diri, aku dicegat sekelompok orang yang tidak puas dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani sebelumnya. Aku dituduh curang, ditarik keluar mobil, kemudian dihajar hingga babak belur.
Mobilku dirusak lalu dibuang ke jurang, sementara aku ditinggalkan begitu saja di jalanan. Beruntung aku ditemukan seseorang yang baik hati dan menolongku.
Rencana sempurna!
Sejauh ini semua berjalan baik!
Aku tersenyum memikirkan keberhasilan rencanaku.
Aku memang babak belur.
Mobilku hancur.
Tapi hidupku sekarang tenang.
Matilah kau, perempuan sial!
Kamu kalah!
Aku ingat betul, aku memang ditarik keluar dari mobil dan dihajar sesuai rencana yang sudah aku susun bersama preman-preman bayaranku.
Kemudian, dengan Adeline yang berada di dalam mobil dan terikat sabuk pengaman, mobil dijatuhkan ke jurang.
Setelah memastikan kematian Adeline, mobil diangkat dan dibuang ke sisi jurang yang lain yang lebih dalam dan tidak mungkin dituruni, sementara sebuah mobil yang sama persis dengan mobil yang kutumpangi bersama Adeline dibuang dan dihancurkan di tempat tadi.
Adapun preman-preman itu tak keberatan seandainya kelak mereka tertangkap dan dijatuhi hukuman karena aku menjamin kehidupan mereka dan keluarganya selama mereka dipenjara.
Sukses!
Namun sejak itu aku kerap mendengar tangisan bayi di malam hari.
Dan hari inilah puncak dari segala kengerianku selama ini!
***
Adeline.
Wajahnya pucat dengan sedikit darah mengalir di bibirnya.
Matanya menatap kosong.
Tangan kanannya menjuntai seperti tak bertulang, sementara tangan kirinya memeluk erat satu sosok mungil dengan kulit yang sama pucatnya.
Bayi!
Aku tercekat!
Aku ingin berteriak tapi suaraku hilang entah ke mana. Aku ingin lari dari tempat ini tapi tubuhku rasanya terpaku.
Dengan langkah diseret, Adelline mendekatiku.
Ia memandangku dengan tatapan kosongnya.
Aku ingin memalingkan wajahku darinya tapi tidak bisa, leherku seperti terkunci!
“Sultan…” terdengar suara yang lebih mirip bisikan, suara yang saat ini terdengar sangat menakutkan di telingaku.
Tangan kiri Adeline mengangsurkan bayi pucatnya ke arahku.
“Ini anakmu. Anak kita.”
Semakin dekat denganku, bayi itu mulai menangis. Tangisannya terdengar makin kencang memekakkan dan terasa memecahkan gendang telingaku.
Aku terjatuh dan tak ingat apa-apa lagi.
***
Satu pancaran senter menyilaukan mataku.
Aku di mana?
“Responnya bagus,” terdengar suara yang sangat kukenal, suara Dokter Suwasono.
Aku merasa lega bukan main.
“Pak Sultan bisa dengar saya ‘kan?” tanya dokter Suwasono.
Aku menjawab dengan lenguhan pendek.
Kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, rupanya aku berada di Rumah Sakit.
Aku bermaksud menggerakkan kepalaku, tapi–
Aku tidak bisa!
Kenapa?
KENAPA?!
Apa yang terjadi?!
Berkali-kali aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun tetap tidak bisa. Bahkan sekadar menggerakkan jari-jari tanganku pun rasanya tubuhku terkunci.
“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” aku mendengar suara wanita yang sangat kukenal. Suara itu terdengar sangat cemas dan tertekan.
Maya!
Sekali lagi aku mencoba menggerakkan tubuh, namun hasilnya sama saja!
Aku menyerah.
Aku hanya bisa diam menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
Aku menyimak setiap kata yang mereka ucapkan.
Dan hasilnya membuatku terperanjat!
Aku… terkena stroke?
Lumpuh seluruh badan?!
Nggak mungkin!!
Ini PASTI mimpi!
Dalam kepanikan dan kecemasan, aku hanya mampu melirik kesana-kemari.
Dan aku melihatnya lagi!
Melihat wanita berwajah pucat dengan tatapan kosong, lengan kanannya menjuntai, sementara lengan kirinya menggendong sosok mungil yang sama pucatnya.
Sosok dengan sedikit darah di bibirnya.
Adeline!
Adeline berjalan terseret menghampiriku. Wajah pucatnya mendekati wajahku dekat, dekat sekali.
Kemudian ia menyeringai.
Aku menjerit, namun hanya lenguhan yang keluar dari mulutku.
Sejak itu, ke manapun aku memandang, mereka selalu ada.
“Ini anakmu, Sultan…”
-Jakarta, 23 Desember 2018-