Lama baca: 4 menit
Seorang teman pernah bercerita pada saya bahwa suasana kantornya saat ini sudah tidak nyaman. Menurut pengakuannya, beberapa kali ia diminta melakukan pekerjaan yang sama sekali bukan job desc-nya.
Kacaunya, sang big boss berkata bahwa divisi tempat teman saya berada tersebut adalah divisi yang kerjaannya cuma buang-buang uang, tidak bisa menghasilkan uang. Ditambah sikap ‘cari aman sendiri’ yang dipertontonkan atasannya membuat si teman ini semakin galau.
Kebetulan dalam situasi tersebut ia mendapat side job membuat pilot project sebuah acara yang – jika berhasil – akan ditayangkan di sebuah stasiun televisi.
Si teman pun meminta pendapat saya.
“Menurut Mas Ryan gimana? Kalo program ini tembus di station, apa enaknya saya keluar aja dari N*******a? Apalagi kebetulan ada investor nih Mas, jadi saya bisa ngontrak tempat untuk bikin studio sendiri.”
Aturan Pertama yang Harus Diingat Sebelum Resign
Jujur saja, kebanyakan pekerja memutuskan untuk resign karena emosi.
Konflik dengan rekan kerja dan/atau atasan, suasana kerja yang tidak senyaman dulu, beban kerja yang semakin lama semakin ‘aneh’ dan tidak jelas, termasuk gaji yang segitu-segitu saja. Hal-hal tersebut cukup memengaruhi pekerja sehingga yang bersangkutan akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaannya.
Kadang-kadang keputusan untuk resign ini muncul setelah berbulan-bulan ‘menderita’, namun sering juga seseorang memutuskan untuk resign hanya beberapa saat setelah emosinya tersulut.
Apapun penyebabnya, hindari memutuskan resign akibat emosi sesaat.
Sekadar mengingatkan, uang yang kita dapat dari hasil kerja bukan hanya kita sendiri yang menikmati. Ada anak dan isteri. Sudah pasti mereka akan terkejut (dan kalut) ketika kita pulang sudah dalam keadaan tidak lagi bekerja.
Jadi, aturan nomor 1 adalah: “JANGAN RESIGN KARENA EMOSI”. Itu adalah aturan dasar bagi siapapun dalam kondisi apapun; jangan mengambil keputusan sekecil apapun saat sedang marah.
Aturan Kedua
Berikutnya setelah kita – dengan berbagai pertimbangan logis rasional – tetap memutuskan resign, maka beritahukan pada pasangan supaya dia siap saat kita benar-benar keluar dari pekerjaan.
Tentu saja pemberitahuan itu dari jauh-jauh hari, jangan terlalu dekat. Besok mau keluar, hari ini baru cerita.
Atau yang lebih parah lagi, sudah keluar tapi seolah-olah masih bekerja di tempat tersebut. Ini benar-benar terjadi pada salah satu rekan kerja saya. Dia sudah keluar dari pekerjaannya namun setiap pagi masih mengenakan seragam dan keluar rumah seperti biasa seolah-olah masih bekerja. Istrinya tentu saja shock begitu tahu bahwa suaminya sudah lama resign.
Selama pasangan belum setuju atas keinginan kita untuk resign, berarti dia belum siap.
Jika kejadiannya seperti itu, apa yang harus kita lakukan?
Tunda keinginan untuk resign, bertahanlah, dan terus komunikasikan keinginan kita, tentunya tanpa emosi.
Pasangan masih belum setuju? Terus bersabar dan berusaha meski makan waktu bertahun-tahun.
Jadi, aturan nomor 2 adalah : “KOMUNIKASIKAN PADA PASANGAN DAN JANGAN SEKALI-SEKALI RESIGN SEBELUM PASANGAN MENYATAKAN PERSETUJUANNYA.”
Aturan Ketiga, Penting!
Aturan ini berkaitan dengan uang dapur.
Jika kita memutuskan resign karena bekerja di kantor baru, masalah ini bisa sedikit diabaikan. Lain halnya jika kita keluar lalu berprofesi sebagai freelancer/profesional yang dapat uang saat dapat project, atau menjadi pedagang/pengusaha.
Bagi mereka yang pindah kuadran, masalah ini bisa jadi sangat penting.
Seperti diketahui, umumnya perusahaan memberikan pesangon 3-4 kali gaji bila kita mengundurkan diri.
Sebelum resign pastikan bahwa kita punya jaminan, minimal untuk setahun ke depan.
Jaminan ini bisa berupa project yang berjalan kontinu selama setahun. Bisa juga berupa aset yang memberikan penghasilan pada kita, termasuk pesangon dari perusahaan berapapun besarnya.
Kenapa setahun?
Berdasar pengamatan, masa-masa indah begitu keluar dari pekerjaan adalah 3 bulan pertama. Saat itu kita merasa bebas merdeka dari segala rutinitas. Selama 3 bulan itu biasanya kita banyak menghabiskan waktu dengan bersantai, lupa pada fakta bahwa kita sudah tidak lagi mendapat gaji bulanan.
Memasuki bulan ke-4 saat tabungan sudah menipis, kita dihadapkan kembali pada realita. Pada saat tersebut kita mulai panik dan cemas. Mulailah kita menghubungi teman-teman, mencari pekerjaan, project, apapun itu. Masalahnya, pekerjaan/project yang dicari tidak datang secara tiba-tiba. Mungkin butuh waktu satu, tiga, enam bulan, bahkan lebih.
Karena itu ingat aturan nomor 3 : “SEBELUM MEMUTUSKAN RESIGN & PINDAH KUADRAN, PASTIKAN KITA PUNYA JAMINAN HIDUP UNTUK SETAHUN KE DEPAN.”
Kembali ke pertanyaan teman saya tersebut, apa jawaban saya?
“Kalo lo yakin si investor punya project yang bisa jalan selama setahun ya nggak apa-apa. Inget, status kita sebagai suami dan ayah, kita punya tanggung jawab terhadap mereka. Jangan karena ego pribadi, kita mengorbankan kebahagiaan istri dan terutama masa depan anak-anak.”
Obrolan saya dan teman tersebut terjadi tahun 2013. Kabar terakhir, dia masih bekerja di perusahaan tersebut bahkan divisinya saat ini memberikan pendapatan signifikan bagi perusahaan.
Catatan:
- Tulisan ini dipublish pertama kali di Kompasiana, 06 September 2013.
2 pemikiran pada “3 Hal yang Harus Diingat Sebelum Resign”
dan setelah baca poin2 ini, aku jd makin mantap utk resign :). Alasannya, lbh k prinsip sih, walo ga bisa dipungkiri suasana mulai ga nyaman. Aku coba bertahan setahun ini, tp kok ya makin stress. Pelampiasan ke anak dan suami, aku jd lbh sering emosi ngadepin mereka. aku pikir2, toh selama ini gaji cm utk uang jajan, ya sudlaah, drpd keluarga yg jd korban, mendingan aku relain keluar dr perusahaan begini.
Kalo utk poin ketiga, insyaallah ada. krn uang tabungan selama ini dan pesangon setelah 13 thn kerja, melebihi pengeluaran setahun. makanya aku mantep utk resign. Skr cuma mikirin gimana ngabarin ke si bos, kalo thn depan aku Bhaaay dari sana :D. karena biar gimana 2 bulan notice yg dikasih, dia hrs cari penggantinya.. Semoga dilancarin sih, jd aku jg bisa kluar dengan baik2.
Terimakasih sharingnya, Mbak.
Memang keluarga nomer satu, saya juga kalo ada kerjaan dan bentrok dgn anak/istri sakit, lebih milih jagain yg sakit. Bismillah, kalo niatnya baik & pertimbangannya rasional, Insyaallah dimudahkan jalannya…